Jumat, 19 Februari 2016

PERKAWINAN


HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
PERKAWINAN

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal, maka suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.

Untuk mncapai keluarga yang bahagia dan kekal tersebut maka :
1.    Harus mempunyai pekerjaan/penghasilan tetap terutama suami
2.    Mempunyai rumah tempat kediaman yang tetap.
3.    Wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
4.    Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hdup berumah tangga sesuai kemampuannya.
5.    Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Hak da kedudukan istri adalah seimbangdengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.


HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK 
1.    Salah satu tujuan orang kawin ialah karena mengharapkan keturunan (anak), sehingga kelak setelah lanjut usianya ada yang menjaga dan memeliharanya.Oleh karena itulah antara  orang tua dan anak timbul hak dan kewajiban.
2.    Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik dengan bagi anak-anaknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.Kewajiban ini berlaku terus walaupun perkawinan kedua orang tua putus (kematian,perceraian).
3.    Sebaliknya anak wajib menghormati kedua orang tua dan menaati kehandak mereka yang baik. Apabila anak telah dewasa, ia wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas menurut kemampuannya kalau mereka memerlukan bantuan.
4.    Apabila anak belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, maka ia berada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, sehingga orang tua mewakili anak tersebut mengenai anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Kekuasaan orang tua dapat dicabut berdasarkan keputusan pengadilan dengan alasan ;  
Sangat melalaikan kewajibanya terhadap anaknya.
Orang tua berkelakuan buruk sekali.

Yang dapat memintakan pencabutan hak ialah :
1.    Salah satu orang tua kalau hanya seorang saja yang melalaikan kewajibannya dan berkelakuan buruk
2.    Keluarga anak dalam garis lurus ke atas
3.    Saudara kandung yang telah dewasa
4.    Pejabat yang berwenang



HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN 
-    Semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah menjadi harta bersama suami dan istri.
-    Apabila ada hata bawaan dari masig-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan, itu adalah dibawah penguasaan masing-masing kecualipada pihak (suami-istri) menentukan lain.
-    Terhadap harta bersama, misalnya : hendak dijual, disewakan dan lain-lain.
-    Tetapi kalau harta bawaan, hadiah atau warisan, maka masing-masing suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan huku terhadap hartanya seperti menjual, menyewakan, menggadaikan dan sebagaina.

 
PEMBATALAN PERKAWINAN
 
Perkawinan dapat dibatalkan dengan alasan sebagai berikut :
1.    Tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan
2.    Tidak adanya izin bagi mereka yang melangsungkan perkawinan baru.
3.    Pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau perkawinan yang tidak dhadiri 2 orang saksi
4.    Perkawinan dilangsungkan karena adaya ancaman yang melanggar hukum
5.    Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Khusus alasan No.4 dan No. 5 di atas perlu diketahui, bahwa apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya sedangkan dalam tempo 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ialah :
1.    Para keluaga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
2.    Suami atau Istri.
3.    Jaksa atas dasar Wali nikah yang tidak sah atau perkawinan yang tidak dihadiri 2 orang saksi.
4.    Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
5.    Pejabat yang ditunjuk berdasarkan pasal 16 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan setiap orang yang berkentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersbut, tetapi hanya setalah perkawinan itu putus.

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya  perkawinan.

Hanya pengadilan yang dapat memutuskan batalnya suatu perkawinan. Selain dari pengadilan tidak ada orang atau suatu badan hukum lain yang dapat membatalkan suatu perkawinan.


PENCEGAHAN PERKAWINAN 
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak-pihak (pria atau wanita) yang tidak memenui syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
 
Yang dapat mencegah perkawinan adalah :
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dank e bawab
2. Saudara.
3.Wali nikah
4. Wali pengampu dari salah seorang calon mempelai
5. pihak-pihak yang berkentingan
6. Suami atau istri yang masih terikat tali perkawinan, terkecuali sudah ada izin pengadilan karena adanya alasan-alasan tertentu
7.Pejabat yang ditunjuk dalam hal:
a. Perkawina tidak memenuhi syarat.
b. Ada Larangan kawin
c. Masih terikat tali perkawinan antara suami isatri, sedangkan tidak ada izin pengadilan.
d. Yang telah cerai dengan istrinya kedua kali, kemudian mau kawin (rujuk) kembali.
e. Tidak memenhi tata cara perkawinan.

Pencegahan perkawinan diajkan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.

Pegawai pencatat memberitahukan adanya pencegahan tersebut kepada calon-calon mempelai

Selama pencegahan belum dicabut, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan
Penceahan perkawinan dapat dicabut dengan :
1 Putusan pengadilan
2. Penarikan kembali oleh pemohon pencegahan.

TATA CARA PERKAWINAN

TATA CARA PERKAWINAN
TATA CARA PERKAWINAN

Untuk melangsngkan perkawinan maka harus mengikuti tata cara sebagai berikut :
1.    Setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegaai Pencacat.
2.    Dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing
3.    Dilakukan dihadapan Pegaai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
4.    Menanda tangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencacat.
5.    Akta perkawinan juga harus ditanda tanganioleh  :

-    Kedua orang tua
-    Pegawai pencatat
-    Yang beragama Islam ditanda tangani pula oleh Wali Nikah atau yang mewakilinya.
Setelah penanda tanganan akta perkawinan maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

Kepada masing-masing suami dan istri diberikan kutipan akta perkawinan

PENCATATAN PERKAWINAN

PENCATATAN PERKAWINAN
PENCATATAN PERKAWINAN

Mereka yang melangsungkan perkawinan harus mencatatkan diri terlebih dahulu pada :

1.    Kator Agama (Pegawai Pencacat Nikah, Talak, Rujuk) bagi mereka yang meragama Islam.
2.    Kantor Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam. Perkawinan yang tidak tercacat pada Kantor tersebut di atas adalah tidak sah dan dapat dibatalkan.

Oleh karena itu yang akan melagsungkan pernikahan harus :
•    Memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencacat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
•    Pemberitahuan dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan berlangsung.

3.    Apabila karena sesuatu hal yang penting jangka waktu tersebut di atastidak dipenuhi, maka penecualian ini diberikan oleh Camat atas nama Bupati/Walikota.

4.    Pemberitahuan tersebut dilakukan baik  lisan maupun tertulis oleh calon mempelai atau orang tua walinya.

5.    Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman, calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.

LARANGAN PERKAWINAN

LARANGAN PERKAWINAN
LARANGAN PERKAWINAN

Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
1.    Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
2.    Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu anara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3.    Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/ bapak tiri.
4.    Berhubungan susuan,yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudarasusuan, dan bibi/paman susuan.
5.    Berhubngan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebh dari seorang.
6.    Mempunyai hungan yang oleh agamnya atau peraturan yang lain yang berlaku, dilarang kawin.
-    Suami istri yang masih terikat tali perkawinan tidak dapat kawin lagi, kecuali ada izin Pengadilan.
-    Pengadilan hanya memberi izin kepada seorang suami untuk kawin lagi apabila :
= Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
= Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembukan.
= Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
-    Untuk mengajukan permohona kepada pengadilan, maka seorang suami yang hendak kawin lagi diperlukan syarat-syarat yaitu :
= Adanya persetujuan istri/istri-istri.
Adanya kepastian bahwa ia mampu menjamin hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
= Adanya jaminan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

-    Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Oleh Karena perkawinan bertujuan untuk membentuk kelurga yang kekal dan bahagia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak tanpa adanya paksaan dari phak manapun juga. Perkawinan paksa sebaiknya dihindari. Telah meninggal
-    Untuk melangsungkan perkawinan bagi yang belum mencapai 21 harus ada izin kedua orang tua.
-   
•    Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup dari orang tua yang masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya.

Sarat-syarat perkawinan


•    Kalau kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali.

-    Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria (laki-laki) sudah berumur 19 tahun dan phak wanita (perempuan) sudahberumur 16 tahun.
•    Apabila perkawinan terpaksa haus dilaksanakan dibawah umur tersebut di atas, maka harus ada dispensasi dari Pengadilan (yang beragama Islam di Pengadilan Agama dan yang lainnya di Pengadlan Negeri).
Kenapa harus dicegah adanya perkawinan dibawah   umur, antara lain.
-    Agar calon suami-istri telah masak jiwa raganya baru kawin.
-    Untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan.
-    Untuk mensukseskan Program Keluarga Berencana.
Bagi seorang wanita yang kawin pada umur lebh rendah (masih muda) dapat mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.

Sabtu, 06 Februari 2016

Asas Oportunitas di Asia Pasifik

Asas portunitas di Asia Pasifik
                                                        

Dalam system penuntutan, sudah lama dikenal “ asas oportunit Lokasi as” atau “asas kebijaksanaan menuntut” atau asas discretionary prosecution). Belakangan dinamakan juga sebagai “ asas expediency” (Dalam bahasa kamus, padanan atau sinonimnya adalah oppropriateness, kelayakan, pragmatism, pragmatikal, practicality, praktikal, usefulness, kemanfaatan).

Asas tersebut memberi kesempatan kepada jaksa untuk tidak menuntut perkara pidana, bilamana penuntutan tidak selayaknya dilakukan atau bilamana penuntutan itu  akan merugikan kepentingan umum atau pemerintah. Di negara lain bahkan dampak kerugian bagi kepentingan individu turut diperhitungkan, misalnya di Turki (Hakeri, Euporean Journal on Criminal Policy And Research, Xix,2-3, 2008:161)

Di kawasan Asia Pasifik, asas oportunitas dianut antara lain oleh Kejaksaan Jepang, Korea Selatan Thailand, Kamboja, dan Indonesia yaitu negara-negara yang bertradisi civil law system.

Asas oportunitas juga dipraktikan secara luas atau terbatas antara lain oleh Kejaksaan Filipina, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Myanmar, negara-negara bertradisi common law system dan atau anglo-american law system. Akan tetapi kalau kita bertanya mengenai asas oportunitas kepada jaksa di negara-negara tersebut, mereka tidak memahaminya. Dengan kata lain, para jaksa di negara-negara tersebut mempraktekan asas oportunitas (luas, sedang, atau sangat terbatas), namun tanpa mengenal istilah asas oportunitas.

Dalam latar belakang sejarah penuntutan, sejak awal dekade revolusi, Perancis sudah menerapkan asas oportunitas. Asas tersebut segera diikuti oleh Belanda dan sewaktu Belgia melepaskan diri dari ikatan Belanda, Belgia (Belanda bagian selatan) juga mempertahankan asas oportunitas. DI Perancis dan Belgia, jaksa berwenang mengesampingkan perkara, yang dalam bahasa Perancis dikenal sebagai Classer sans suite (Mulde, 1981:45).

Jaksa Belgia bahkan boleh menghentikan penuntutan dengan percobaan. Artinya, seorang tersangka dihentikan penuntutannya dengan percobaan untuk jangka waktu 6 bulan. Bilamana dalam jangka waktu tersebut ia melakukan lagi tindak pidana, maka penghentian penuntutannya dicabut kembali. Akibatnya, ia akan dituntut baik untuk perbuatan yang pertama, maupun untuk perbuatan yang kedua.

Akan tetapi dalam praktik, pelanggaran atas penangguhan penuntutan jarang sekali terjadi. Rata-rata para pelaku tindak pidana, menjadi jerah dan sangat berhati-hati agar dia tidak berulang melakukan tindak pidana lagi.

Sementara itu, jaksa di Belanda berkuasa menghentikan penuntutan, sekalipun cukup bukti dan saksinya, setiap ia berpendapat, bahwa penuntutan hanya akan  merugikan kepentingan umum, pemerintah, atau perorangan (cf.Jong & Kelk, 1988:37, dengan menunjuk Pasal-pasal 167 ayat (2), dan 242 ayat (2) KUHAP Belanda;cf.Tak,1981:369-381) Tindakan demikian dikenal sebagai “penghentian penuntutan karena alasan kebijakan”, mengingat antara lain, misalnya, tindak pidananya biasa-biasa saja, pelakunya sangat tua, sedangkan pihak korban sudah diberikan ganti rugi.

Dalam keseharian, tindakan semacam itu dikenal sebagai “mengesampingkan perkara” (seport). Di samping itu jaksa Belanda harus melakukan “penghentian penuntutan karena alasan teknis”, antara lain karena bukti dan saksinya tidak cukup atau ada alasan pemaaf, atau kasusnya sudah nebis in idem seperti di ungkapkan Fangman (VROM EPA Procedings 1, 1990).  Dengan kata lain, Kejaksaan Belanda menganut asas oportunitas, yang kemudian diterapkan juga di Indonesia hingga sekarang ini (Abidin Farid,1977) Namun sejak 1961, asas oportunitas menjadi wewenang eksklusif Jaksa Agung RI.

Penghentian penuntutan yang dipraktikan di Belgia dan Belanda seperti itu, di Jepang dikenal sebagai “ penangguhan penuntutan”, Jaksa Jepang memang penganut kuat asas oportunitas. Kitab Undang-Undang HUkum Acara Pidana (KUHAP) Jepang, Pasal 248.memberkan wewenang kepada Jaksa untuk penangguhan penuntutan, dengan syarat “mengingat tabiat, usia, keadaan pelaku tindak pidana, berat ringan dan keadaan perbuatannya, atau kondisi perbuatannya.

”Suzuki, UNFEI Report, 1979; cf Dando, American Journal of Comparative Law, 18, 1970) Lebih dari setengah perkara pidana kekayaan (misalnya pencurian) dihentikan proses penuntutannya, mengingat pelakunya sudah berumur lanjut atau sudah uzur (Surachman dan Andi Hamzah, 1996).

Beberapa negara di Eropa, dewasa ini diskresi jaksa lebih luas daripada diskresi jaksa sebelumnya. Misalnya di Norwegia, Swedia, Firlandia, Jerman, dan Belanda, Di negara-negara tersebut jaksa berwenang menjatuhkan penghukuman tanpa melibatkan hakim, dikenal sebagai panel order. Kalaupun harus mendapat persetujuan hakim, jarang sekali hakim menolaknya. (cf Rostad, UANFEI Report, 1986, de Cavarly, dalam Jehle &Wade, 2006:1989-190: juga Jehle, Smit Zila, 2008: 169-273).

Di Perancis penal order oleh jaksa sudah diterapkan sejak KUHAP Napoleon (1808), dengan sebutan ordonnance penale (ide Cavarlay, dalam Jehle & Wade, 2006: 189-190;Jehle, Smit, Zila, 2008 : 169-173 dan Luna & Wade, 2010:1444).

Sejak 2001 Perancis memperkenalkan semacam penal order yang lain, yakni  composition penale. Dalam kedua jenis penal order tersebut, Hakim Perancis hampir dipastikan tidak akan menolak rekomendasi jaksa

Sanksi composition penal, misalnya pembekuan SIM, palarangan menggunakan kendaraan si pelaku selama jangka waktu tertentu atau melakukan pekerjaan tanpa diupah paling lama 50 jam (de Cavarlay, dalam Jehle &Wade,2006 :190-191).



Tidak mustahil Perancis akan diikuti oleh Jaksa di Kawasan Asia Pasifik, khususnya di Kamboja, mengingat KUHAP 2007 Kamboja didesain berorientasi ke model KUHAP Perancis 1958. Sedangkan model penal order Belanda, cepat atau lambat dimodifikasi oleh Kejaksaan di Indonesia.

Asas Legalitas.

Kebalikan “asas kebijaksanaan menurut” (asas oportunitas) adalah “asas kewajiban menurut” (mandatory prosedution). Di negara-negara yang menganut asas ini, jaksa akan menuntut setiap perkara ke pengadilan, Kejaksaan di Jerman, Austria, Italia, Portugal, Spanyol, dan Polandia menganut asas kewajiban menuntut. Namun belakangan ini para jaksa di Jerman, Austria, dan Polandia diperbolehkan mengesampingkan perkara beberapa kejahatan tertentu atau boleh menerapkan asas oportunitas secara terbatas.
Penghentian penuntutan dengan percobaan (pretrial probation) misalnya, dipastikan juga di Jerman (Fogel, 1988:161 dan 239) padahal jaksa Jerman menganut asas legalitas.

Selanjutnya menurut ketentuan Pasal-pasal 152, 153-153e, 154-154e HUKAP Jerman (Strafprozessordnung) Jaksa Jerman boleh tidak menuntut perkara apabila menurut pendapatnya “bobot kesalahannya ringan dan kepentingan umum tidak menghendaki dijalankannya penuntutan.” Perkara yang boleh dikesampingkan di Jerman meliputi perkara membobol rumah untuk melakukan kejahatan, perkara white collar crime; dan pelecehan seksual sanpa kekerasan terhadap anak di bawah umur (Horstkotte, UNEFEI Report, 1980).

DI Amerika dan Inggris

Jaksa di Amerika dan Inggris dan negara-negara yang bertradisi common law system dan anglo-american law system tidak mengenal istilah asas oportunitas. Walaupun begitu mereka menjalankan asas tersebut dengan istilah discretionary prosecution atau expediency principle. Terutama para jaksa di Amerika Serikat (District Attorney dan US Attorney) paling dominan sewaktu menjalankan wewenang diskresinya pada setiap tahapan proses pidana.

Dalam setiap waktu, mereka bisa menghentikan penuntutan. Para jaksa boleh menawarkan jumlah dakwaan. Kalau tadinya ada lima dakwaan, misalnya lalu dikurangi menjadi dua dakwaan saja. Atau tadinya dakwaannya berat, karena terdakwa mau mengaku, maka jaksa mau menggantinya dengan dakwaan yang bersanksi lebih ringan.

Bernegosiasi semacam itu dikenal sebagai plea bargaining, dan sudah dipraktikan sejak lama (Weston dan Wells,1973:79-80;LeGrande,1973:73-74;Romli Atmasasmita,1980:69-89), Dengan sedikit modifikasi, negosiasi seperti itu dilakukan juga oleh jaksa Singapura (Pereira, UNAFEI Report, 1982).

Kejaksaan Inggris (Crown Prosecution Service), yang baru dibentuk di tahun 1986, boleh menghentikan penuntutan karena alasan kebijakan, kalau tindak pidananya biasa-biasa saja, pelakukanya sudah tua, atau masih remaja. Tentu saja jaksa Inggris harus menghentikan penuntutan karena alasan teknis, semisal bukti dan saksinya tidak memadai, atau peristiwanya sudah sangat basi (wood, Asian Journal, 1990.




Jaksa Agung Inggris boleh menghentikan perkara yang sudah masuk pengadilan, melalui upaya hukum nolle prosequi, istilah latin ini berarti” tidak akan menuntut”,Caranya Jaksa Agung memberitahu pengadilan, bahwa dirinya tidak akan menuntut  perkara tersebut (Karlen, Sawer, and Wise, 1967).

Kewenangn Jaksa Agung Inggris tersebut diikuti oleh  negara-negara bertradisi common law system di seluruh dunia, termasuk di kawasan Asia Pasifik. Akan tetapi adakalanya, istlah nolle  prosequi sendiri tidak digunakan, (lihat misalnya, KUHAP Singapura, Malaysia dan Myanmar).

Pengwasan

Mengingat asas oportunitas bisa menimbulkan kesewenang-wenangan (arbitrary), diupayakan pelbagai cara pengawasannya. Dalam hal ini pedoman diskresi penuntutan itu harus sangat penting diadakan, akan tetapi harus seimbang dengan kedudukan jaksa yang dominan. Pedoman yang tidak lentur, terlalu rigid, akan mengurangi makna dan manfaat diskresi dan ini adalah “kebebasan menerobos aturan” dan dilakukan tidak keluar dari “ aturan bernalar dan aturan keadilan”Wilcox,1972:116).

Pencegahan lain, misalnya dilakukan pengawasan oleh kejaksaan yang lebih tinggi. Dalam hubungan ini di RR Tingkok, Korea Selatan, Filipina, dan Thailand, keputusan Jaksa Agung untuk menuntut, dapat minta dibatalkan kepada kejaksaan yang lebih tinggi, baik oleh korban kejahatan maupun oleh penyidik. Terutama standar etika merupakan benteng terakhir bagi para jaksa sewaktu menjalankan kekuasaan diskresinya yang besar itu.

Diskresi Jaksa di Kawasan Asia Pasifik

Diskresi Jaksa Beberapa Negara di Kawasan Asia Pasifik.
Dalam literature hukum Bahasa Indonesia, istilah diskresi belum lama dipahami. Sebelumnya lebih dikenal istilah freies ermmesen, dari bahasa Jerman, melalui hukum tata usaha negara (bestuursrecht) di negeri Belanda. Sedangkan di Perancis dikenal sebagai pouvoir discretionnaire.

Asia Pasifik


Bambang Waluyo (Waluyo,et al,2000:8-9), dari hasil penelitiannya, memberikan makna diskresi sebagai berikut.
•    “Kebijaksanaan atas dasar pertimbangan keadilan semata-mata dengan tidak terkait kepada ketentuan undang-undang,”dalam kamus (Soebekti, 1980);
•    Ability to choose wisely or to judge for oneself atau “kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri.”Dalam kamus (Burrow, 1966);
•    The freedom to break the rules (but it is) done within the rules of reasons and justice atau “kebebasan menerobos aturan {namun] dilakukan dengan tidak keluar dari ‘aturan bernalar dan aturan keadilan.’” (Wilcox, 1972:112 dalam Surachman, 1996:76).

Dihubungkan dengan system penuntutan, praktik (de facto) menunjukkan, bahwa tidak jarang jaksa atau penuntut umum melakukan diskresi penuntutan, umpamanya dengan jalan menerapkan penangguhan penuntutan sementara penangguhan penuntutan parmanen, yang di Indonesia dipahami sebagai mengesampingkan perkara demi kepentingan hukum (public interst drop).

Harus diperhatikan bahwa penghentian penuntutan atau simple drop, sesungguhnya bukan merupakan diskresi. Simple drop, adalah penghentian penuntutan karena alasan teknis, umpamanya kurang cukup bukti, atau alasan pemaaf, atau perkaranya sudah ne bis in idem, atau dalam hal tersangka atau terdakwanya meninggal dunia. Singkatnya penuntutan dihentikan demi hukum.

Diskresi Jaksa Beberapa Negara di Kawasan Asia Pasifik.
Dalam literature hukum Bahasa Indonesia, istilah diskresi belum lama dipahami. Sebelumnya lebih dikenal istilah freies ermmesen, dari bahasa Jerman, melalui hukum tata usaha negara (bestuursrecht) di negeri Belanda. Sedangkan di Perancis dikenal sebagai pouvoir discretionnaire.

Bambang Waluyo (Waluyo,et al,2000:8-9), dari hasil penelitiannya, memberikan makna diskresi sebagai berikut.
•    “Kebijaksanaan atas dasar pertimbangan keadilan semata-mata dengan tidak terkait kepada ketentuan undang-undang,”dalam kamus (Soebekti, 1980);
•    Ability to choose wisely or to judge for oneself atau “kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri.”Dalam kamus (Burrow, 1966);
•    The freedom to break the rules (but it is) done within the rules of reasons and justice atau “kebebasan menerobos aturan {namun] dilakukan dengan tidak keluar dari ‘aturan bernalar dan aturan keadilan.’” (Wilcox, 1972:112 dalam Surachman, 1996:76).

Dihubungkan dengan system penuntutan, praktik (de facto) menunjukkan, bahwa tidak jarang jaksa atau penuntut umum melakukan diskresi penuntutan, umpamanya dengan jalan menerapkan penangguhan penuntutan sementara penangguhan penuntutan parmanen, yang di Indonesia dipahami sebagai mengesampingkan perkara demi kepentingan hukum (public interst drop).

Harus diperhatikan bahwa penghentian penuntutan atau simple drop, sesungguhnya bukan merupakan diskresi. Simple drop, adalah penghentian penuntutan karena alasan teknis, umpamanya kurang cukup bukti, atau alasan pemaaf, atau perkaranya sudah ne bis in idem, atau dalam hal tersangka atau terdakwanya meninggal dunia. Singkatnya penuntutan dihentikan demi hukum.

Asas Kebijaksanaan Penuntutan
Para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dan juga pejabat lembaga pemasyarakatan, dalam situasi tertentu masing-masing diberi keleluasaan bertindak berdasarkan  diskresi (discresitio) atau kebijaksanaan. Selain tentu saja mereka wajib mematuhi kebijakan (policy) yang dikeluarkan oleh pimpinannya.

Umpamanya, seorang petugas polisi tidak memproses seorang yang melakukan pencurian tiga buah kakao milik perkebunan besar. Di sini poliisi melakukan diskresi polisi, yakni hanya memberikan peringatan saja, mengingat tersangkanya sudah lanjut usia, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf.

Contoh lain, Secara universal hakim mempunyai diskresi yang sangat longgar dalam menentukan lama pidana atau besar denda yang dijatuhkan, asal saja ia tidak melanggar maksimum dan minimum pidana atau maksimum dan minimum denda yang ditentukan oleh undang-undang. Misalnya dalam kasus pencurian kakao di atas, polisi tetap memberkas perkara dan mengajukannya ke sidang pengadilan dan juga lolos dari saringan jaksa, namun mengingat tersangkanya sudah lanjut umur, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf, hakim ternyata menjatuhkan pidana denda, atau menjatuhkan pidana kurungan selama 7 hari dengan tidak usa dilaksanakan, kalau syarat-syaratnya dipenuhi.

Dalam bahasa sehari-hari, tindakan hakim tersebut adalah menjatuhkan pidana percobaan, Bahkan teoritikal, hakim di Indonesia pun boleh menjatuhkan denda percobaan. Akan tetapi dngan jenis pidana demikian, uang denda harus dilunasi terlebih dahulu, dan kalau masa percobaan sudah dilewati, terpidana dapat meminta uang tersebut dikembalikan kepadanya.

Di Malaysia, Singapura, dan Brunei  mengenai tindak pidana narkotika tertentu, hakim tidak memiliki diskresi sama sekali, karena kalau terdakwa terbukti bersalah, hakim wajib menjatuhkan pidana mati (mandatory death sentence), tanpa alternative pemidanaan lainnya. Satu-satunya cara terpidana lolos dari jerat tali gantungannya, hanya kalau Kepala Negara berkenan memberikan  pardon, semacam grasi.

Mengenai diskresi pejabat lembaga pemasyarakatan, dapat terjadi setiap kali pejabat tersebut menimbang-nimbang berapa besaran masa pengurangan pidana (remisi) yang harus diberikan kepada seorang narapidana, dengan mengingat hasil penilaian perilaku napi yang bersangkutan selama menjalani “binaan” di lapas yang bersangkutan.

Sepetrti disinggu di muka, diskresi yang dilakukan oleh jaksa (diskresi penuntutan) bisa terjadi dalam hal jaksa memutuskan suatu penangguhan penuntutan dengan satu atau beberapa ketentuan, umpamanya tersangkanya bukan residivis dan sudah berumur lanjut (di Jepang dan Belanda, berumur 70 tahun ke atas) atau sebaliknya, umur tersangka terlalu muda (berumur kurang dari 12 tahun.

Di Inggris (England & Wales), polisi sudah selama tiga dekade melakukan praktik memberi peringatan (caution) terhadap pelaku tindak pidana yang tidak terlalu penting. Namun sejak Kejaksaan England &Wales (Crown Prosecution Service/CPS) dibentuk dalam tahun 1986, tindakan polisi semacam itu harus sepengetahuan jaksa (Crown Prosecution) atau atas permintaan jaksa atau bahkan harus dilakukan bersama jaksa (Jehle, Smit, Zila, European Journal on Criminal Policy and Research, XIV,2-3,2008:197).

Diskresi penuntutan yang lain, umpamanya dalam hal jaksa hanya menuntut dengan satu pasal yang berisi ancaman pidana yang lebih rendah dari pasal-pasal lainnya. Padahal dalam surat dakwaannya, untuk kasus yang bersangkutan dia dapat menuntut lebih dari satu pasal (baik tuntutan alternative maupun tuntutan komulatif atau dalam bahasa media sosial dikenal sebagai tuntutan berlapis).

Tindakan sebaliknya pun  sangat dimungkinkan, Dalam kasus serupa, jaksa hanya menuntut dengan pasal yang paling berat ancaman pidananya, serta tidak  menuntut pasal-pasal yang ancaman pidananya lebih ringan.

Dari contoh-contoh dimuka, tampak sekali, bahwa jaksa adalah dominus litis atau seorang penguasa perkara (master of the procedure). Dikatakan juga jaksa merupakan penyaring utama perkara-perkara yang diterima dari penyidik manapun. Sebenarnya, secara universal, wewenang tersebut atau the power to prosecute berada di tangan jaksa.

Jaksa tidak sepatutnya menjelma sebagai “robot”, tetapi bekerja secara professional, penuh pertimbangan dan bijaksana dengan tetap bergerak sepanjang koridor objektivitasnya. Menurut mereka yang disangka bersalah, jaksa menjalankan hak mutlaknya, yaitu hak untuk menentukan menuntut atau tidak menuntut tersangka namun dengan berpegang teguh pada prinsip praduga tidak bersalah  atau prinsip presumption innocentiae dan prinsip in dubio  pro reo. Dengan demikian, jaksa mampoun menjaga jangan sampai seseorang dijatuhi pidana untuk tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya.

Memang di banyak negara, termasuk di Kawasan Asia Pasifik jaksa itu berperan ganda: sebagai penyelenggara atau administrator bertindak seperti setengah hakim atau semi judge, yakni berkuasa sebagai hakim semu atau quasi judicial authority (Douglass, 1977) dan Fisher (Prosecutor, 1989).

Sebagai prosecutor dan administrator, jaksa bertugas selaku penuntut umum, yakni menuntut perkara dengan tujuan menghasilkan penjatuhan pidana dari pengadilan sebanyak mungkin dan seberat mungkin. Namun dalam statusnya sebagai semi judge atau quasi judicial officer, jaksa berfungsi seperti seorang “menteri kehakiman”, yaitu melindungi yang tidak bersalah, mempertimbangkan hak-hak tersangka, dan mencegah terjadinya penuntutan atas dasar balas dendam (malice prosecution). Itulah sebabnya, jaksa diberi wewenang menghentikan proses perkara, baik karena alasan teknis (menghentikan penuntutan atau simple drop), maupun karena alasan kepentingan umum (mengesampingkan perkara atau public interest drop).

Para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dan juga pejabat lembaga pemasyarakatan, dalam situasi tertentu masing-masing diberi keleluasaan bertindak berdasarkan  diskresi (discresitio) atau kebijaksanaan. Selain tentu saja mereka wajib mematuhi kebijakan (policy) yang dikeluarkan oleh pimpinannya.

Umpamanya, seorang petugas polisi tidak memproses seorang yang melakukan pencurian tiga buah kakao milik perkebunan besar. Di sini poliisi melakukan diskresi polisi, yakni hanya memberikan peringatan saja, mengingat tersangkanya sudah lanjut usia, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf.

Contoh lain, Secara universal hakim mempunyai diskresi yang sangat longgar dalam menentukan lama pidana atau besar denda yang dijatuhkan, asal saja ia tidak melanggar maksimum dan minimum pidana atau maksimum dan minimum denda yang ditentukan oleh undang-undang. Misalnya dalam kasus pencurian kakao di atas, polisi tetap memberkas perkara dan mengajukannya ke sidang pengadilan dan juga lolos dari saringan jaksa, namun mengingat tersangkanya sudah lanjut umur, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf, hakim ternyata menjatuhkan pidana denda, atau menjatuhkan pidana kurungan selama 7 hari dengan tidak usa dilaksanakan, kalau syarat-syaratnya dipenuhi.

Dalam bahasa sehari-hari, tindakan hakim tersebut adalah menjatuhkan pidana percobaan, Bahkan teoritikal, hakim di Indonesia pun boleh menjatuhkan denda percobaan. Akan tetapi dngan jenis pidana demikian, uang denda harus dilunasi terlebih dahulu, dan kalau masa percobaan sudah dilewati, terpidana dapat meminta uang tersebut dikembalikan kepadanya.

Di Malaysia, Singapura, dan Brunei  mengenai tindak pidana narkotika tertentu, hakim tidak memiliki diskresi sama sekali, karena kalau terdakwa terbukti bersalah, hakim wajib menjatuhkan pidana mati (mandatory death sentence), tanpa alternative pemidanaan lainnya. Satu-satunya cara terpidana lolos dari jerat tali gantungannya, hanya kalau Kepala Negara berkenan memberikan  pardon, semacam grasi.

Mengenai diskresi pejabat lembaga pemasyarakatan, dapat terjadi setiap kali pejabat tersebut menimbang-nimbang berapa besaran masa pengurangan pidana (remisi) yang harus diberikan kepada seorang narapidana, dengan mengingat hasil penilaian perilaku napi yang bersangkutan selama menjalani “binaan” di lapas yang bersangkutan.

Sepetrti disinggu di muka, diskresi yang dilakukan oleh jaksa (diskresi penuntutan) bisa terjadi dalam hal jaksa memutuskan suatu penangguhan penuntutan dengan satu atau beberapa ketentuan, umpamanya tersangkanya bukan residivis dan sudah berumur lanjut (di Jepang dan Belanda, berumur 70 tahun ke atas) atau sebaliknya, umur tersangka terlalu muda (berumur kurang dari 12 tahun.

Di Inggris (England & Wales), polisi sudah selama tiga dekade melakukan praktik memberi peringatan (caution) terhadap pelaku tindak pidana yang tidak terlalu penting. Namun sejak Kejaksaan England &Wales (Crown Prosecution Service/CPS) dibentuk dalam tahun 1986, tindakan polisi semacam itu harus sepengetahuan jaksa (Crown Prosecution) atau atas permintaan jaksa atau bahkan harus dilakukan bersama jaksa (Jehle, Smit, Zila, European Journal on Criminal Policy and Research, XIV,2-3,2008:197).

Diskresi penuntutan yang lain, umpamanya dalam hal jaksa hanya menuntut dengan satu pasal yang berisi ancaman pidana yang lebih rendah dari pasal-pasal lainnya. Padahal dalam surat dakwaannya, untuk kasus yang bersangkutan dia dapat menuntut lebih dari satu pasal (baik tuntutan alternative maupun tuntutan komulatif atau dalam bahasa media sosial dikenal sebagai tuntutan berlapis).

Tindakan sebaliknya pun  sangat dimungkinkan, Dalam kasus serupa, jaksa hanya menuntut dengan pasal yang paling berat ancaman pidananya, serta tidak  menuntut pasal-pasal yang ancaman pidananya lebih ringan.

Dari contoh-contoh dimuka, tampak sekali, bahwa jaksa adalah dominus litis atau seorang penguasa perkara (master of the procedure). Dikatakan juga jaksa merupakan penyaring utama perkara-perkara yang diterima dari penyidik manapun. Sebenarnya, secara universal, wewenang tersebut atau the power to prosecute berada di tangan jaksa.

Jaksa tidak sepatutnya menjelma sebagai “robot”, tetapi bekerja secara professional, penuh pertimbangan dan bijaksana dengan tetap bergerak sepanjang koridor objektivitasnya. Menurut mereka yang disangka bersalah, jaksa menjalankan hak mutlaknya, yaitu hak untuk menentukan menuntut atau tidak menuntut tersangka namun dengan berpegang teguh pada prinsip praduga tidak bersalah  atau prinsip presumption innocentiae dan prinsip in dubio  pro reo. Dengan demikian, jaksa mampoun menjaga jangan sampai seseorang dijatuhi pidana untuk tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya.

Memang di banyak negara, termasuk di Kawasan Asia Pasifik jaksa itu berperan ganda: sebagai penyelenggara atau administrator bertindak seperti setengah hakim atau semi judge, yakni berkuasa sebagai hakim semu atau quasi judicial authority (Douglass, 1977) dan Fisher (Prosecutor, 1989).

Sebagai prosecutor dan administrator, jaksa bertugas selaku penuntut umum, yakni menuntut perkara dengan tujuan menghasilkan penjatuhan pidana dari pengadilan sebanyak mungkin dan seberat mungkin. Namun dalam statusnya sebagai semi judge atau quasi judicial officer, jaksa berfungsi seperti seorang “menteri kehakiman”, yaitu melindungi yang tidak bersalah, mempertimbangkan hak-hak tersangka, dan mencegah terjadinya penuntutan atas dasar balas dendam (malice prosecution). Itulah sebabnya, jaksa diberi wewenang menghentikan proses perkara, baik karena alasan teknis (menghentikan penuntutan atau simple drop), maupun karena alasan kepentingan umum (mengesampingkan perkara atau public interest drop).