Peran Jaksa Dalam Peradilan di Jepang.
Jaksa Jepang memainkan posisi kunci dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena dapat melakukan penyidikan sendiri untuk segala tindak pidana dan dapatmemberikan intruksi-instruksi dan nasehat kepada polisi yang sedang melakukan kegiatan penyidikan. Tidak dapat disangkal bahwa Jaksa Jepang adalah “sang penguasa perkara “ atau master of the procedure dan dominius litis, karena kedudukannya yang demikian itu sewaktu didirikan di abad ke-19, Kejaksaan Jepang (seperti juga Kejaksaan Belanda) dan berorientasi pada Kejaksaan Perancis. Dan Kejaksaan Jepang menganut asas “satu dan tidak terpisahkan” (een en ondeelbaar atau one and indivisible atau the principle of indivisibility).
Jaksa Jepang mempunyai kekuasaan yang besar dalam menentukan apakah suatu perkara akan dituntut atau tidak, Jaksa Jepang menggunakan asas oportunitas (opportunity principle atau discretionary system. Dewasa ini dikenal sebgai expediency principle) dan sekitar 50 % perkara yang dihentikan penuntutannya adalah berdasarkan atas oportunitas, artinya sekalipun pembuktiannya cukup akan tetapi demi kepentingan umum (public interest di Inggris dan algemene belaang di Belanda), Jaksa Jepang akan menghenikan penuntutan, dengan cara memberkan penangguhan penuntutan (suspension of prosecution) seperti kekuasaan mengesampingkan perkara berdasarkan asas oportunitas di Indonesia dan hanya diberikan kepada Jaksa Agung dan sangat jarang diterapkan.
Tujuan Dasar Sidang di Pengadilan Jepang.
Sidang Pengadilan di Jepang meimiliki dua tujuan dasar yaitu :
1. Memutuskan pemidanaan
2. Menjamin kemerdekaan orang, kecuali bilamana iaterbukti bersalah. Mana yang lebi diutamakan, tergantung dari sistem yang dianut oleh negara yang bersangkutan
Dalam sistem adversial yang dianut oleh Inggris-Amerka (Anglo-American System), yang ditamakan adalah menjamin kemerdekaan orang, sehingga pemeriksaan di siding dilaksanakan jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum. Oleh karena itu, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) penting sekali (dijunjung tinggi), bukti-bukti fisik (dokumen dan barang bukti) tidak diserahkan ke pengadilan bersama surat dakwaan, akan tetapi diserahkan kemudian oleh jaksa maupun oleh pembela, setelah persidangan berlangsung.
Tujuan utama persidangan adalah pemidanaan (punishament), persidangan pengadilan (trial) hanya pelengkap dari penyidikan (investigation yang dilakukan oleh jaksa dan polisi, yang mengumpulkan alat bukti adalah polisi dan jaksa yang di serahkan ke pengadila berama BAP sebelum perang dunia ke II persidangan di pengadilan jepang menganut sistim INKUISITOR, akan tetapi sejak tahun 1949 menganut sistem adversial (sistim akusator, dalam hal ini disebabkan KUHAP baru jepang mulai berlaku 1949) menyesuaikan diri dengan undang-undang dasar 1947 yang menggantikan undang-undang dasar kaisar Mejji 1889 undang-undang dasar baru jepang tersebut sangat di pengaruhi ileh konstitualisme amerika serikat melaluai penguasa militer sekutu yang di pimpin oleh jendral Douglas Mc Artuhur.
Jaksa Jepang memainkan posisi kunci dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena dapat melakukan penyidikan sendiri untuk segala tindak pidana dan dapatmemberikan intruksi-instruksi dan nasehat kepada polisi yang sedang melakukan kegiatan penyidikan. Tidak dapat disangkal bahwa Jaksa Jepang adalah “sang penguasa perkara “ atau master of the procedure dan dominius litis, karena kedudukannya yang demikian itu sewaktu didirikan di abad ke-19, Kejaksaan Jepang (seperti juga Kejaksaan Belanda) dan berorientasi pada Kejaksaan Perancis. Dan Kejaksaan Jepang menganut asas “satu dan tidak terpisahkan” (een en ondeelbaar atau one and indivisible atau the principle of indivisibility).
Jaksa Jepang mempunyai kekuasaan yang besar dalam menentukan apakah suatu perkara akan dituntut atau tidak, Jaksa Jepang menggunakan asas oportunitas (opportunity principle atau discretionary system. Dewasa ini dikenal sebgai expediency principle) dan sekitar 50 % perkara yang dihentikan penuntutannya adalah berdasarkan atas oportunitas, artinya sekalipun pembuktiannya cukup akan tetapi demi kepentingan umum (public interest di Inggris dan algemene belaang di Belanda), Jaksa Jepang akan menghenikan penuntutan, dengan cara memberkan penangguhan penuntutan (suspension of prosecution) seperti kekuasaan mengesampingkan perkara berdasarkan asas oportunitas di Indonesia dan hanya diberikan kepada Jaksa Agung dan sangat jarang diterapkan.
Tujuan Dasar Sidang di Pengadilan Jepang.
Sidang Pengadilan di Jepang meimiliki dua tujuan dasar yaitu :
1. Memutuskan pemidanaan
2. Menjamin kemerdekaan orang, kecuali bilamana iaterbukti bersalah. Mana yang lebi diutamakan, tergantung dari sistem yang dianut oleh negara yang bersangkutan
Dalam sistem adversial yang dianut oleh Inggris-Amerka (Anglo-American System), yang ditamakan adalah menjamin kemerdekaan orang, sehingga pemeriksaan di siding dilaksanakan jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum. Oleh karena itu, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) penting sekali (dijunjung tinggi), bukti-bukti fisik (dokumen dan barang bukti) tidak diserahkan ke pengadilan bersama surat dakwaan, akan tetapi diserahkan kemudian oleh jaksa maupun oleh pembela, setelah persidangan berlangsung.
Tujuan utama persidangan adalah pemidanaan (punishament), persidangan pengadilan (trial) hanya pelengkap dari penyidikan (investigation yang dilakukan oleh jaksa dan polisi, yang mengumpulkan alat bukti adalah polisi dan jaksa yang di serahkan ke pengadila berama BAP sebelum perang dunia ke II persidangan di pengadilan jepang menganut sistim INKUISITOR, akan tetapi sejak tahun 1949 menganut sistem adversial (sistim akusator, dalam hal ini disebabkan KUHAP baru jepang mulai berlaku 1949) menyesuaikan diri dengan undang-undang dasar 1947 yang menggantikan undang-undang dasar kaisar Mejji 1889 undang-undang dasar baru jepang tersebut sangat di pengaruhi ileh konstitualisme amerika serikat melaluai penguasa militer sekutu yang di pimpin oleh jendral Douglas Mc Artuhur.
- Peran Jaksa Jepang Dalam Sistem Persidangan
Persiapan Persidangan
Jaksa harus memberitahu pihak pembela tentang saksi-saksi dan alat bukti yang akan diajukan di persidangn. Jaksa harus meneliti saksi-saksi dan pembuktian yang akan diajukan oleh pihak pembela, Jaksa memastikan agar para saksi datang waktu persidangan diselenggarakan.
Adakalanya Jaksa Jepang berusaha untuk mengetahui bagaimana keadaan dan perasaan korban (victim of crime) pada perkara yang ditanganinya. Dalam mengajukan requisitor Jaksa Jepang meminta pidana yang dianggap setimpal dengan kesalahan terdakwa, padahal dalam sistem Inggris dan Amerika, jaksa tidak secara spesifik menuntut pidana yang harus dijatuhkan kepada terdakwa; jadi terbatas hanya pada apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak.
Dalam persidangan menurut KUHAP baru 1949 Jepang tujuan yaitu :
- Persidangan terbatas pada apa yang didakwakan oleh jaksa;
- Bukti fisik misalnya dokumen tidak dilampirkan pada surat dakwaan, agar hakim tidak berprasangka sebelum mendengar sendiri di persidangan.
Pada prinsipnya jaksa dan pembela hanya bertanggung jawab atas pengajuan pembuktian di persidangan, diterapkan cross examination (pertanyaan uji ulang) oleh pembela terhadap saksi yang diajukan jaksa dan sebaliknya, oleh jaksa terhadap saksi yang diajukan oleh jaksa dan sebaliknya, oleh jaksa terhadap saksi yang diajukan oleh pembela.
Letak tempat duduk hakim, jaksa, pembela dan terdakwa direposisi, (sama seperti di pengadilan Amerika dan Inggris, dan juga tata letak (lay-out).
Urutan persidangan
Jaksa memulai dengan cara pembukaan (opening proceedings), dalam acara pembukaan jaksa bukan membaca surat dakwaan, melainkan secara lisan (oral) menjelaskan perkara yang segera akan disidangkan, sehingga lebih hidup dari pada dalam sistem di Indonesia dan di negara-negara bersistem Eropa continental.
Pada tahap pemeriksaan pembuktian yang diajukan oleh masing-masing pihak (jaksa dan pembela) terhadap para saksi masing-masing pihak dapat melakukan cross examination, sedangkan terhadap bukti fisik (dokumen dan barang bukti), masing-masing pihak dapat memberikan komentar atau pernyataan.
Di Amerika dalam tahap persidangan kedua bela pihak dapat meminta hakim untuk menyatakan pembuktian, dan dari pihak lawan dianggap bukan pembuktian, karena diprosesnya atau diperolehnya secara tidak sah dilihat dari hukum acara pidana yang baik.
Tahap pemeriksaan terdakwa, terdakwa harus menjawab pertanyaan jaksa dan pembela (dalam sistem adversarial yang murni seperti Amerika dan Inggris, terdakwa tidak boleh ditanyai oleh jaksa dan pembela, karena akan melanggar asas self ancrimination (memberatkan diri sendiri), kecuali jika terdakwa mau, baru ia diperkenankan menjawab pertanyaan jaksa dan pembela, Akan tetapi pada saat terdakwa duduk ditempat saksi dan dari sudut pandang hukum pada waktu itu ia adalah saksi untuk dirinya sendiri bukan terdakwa, oleh karena itu kedua belah pihak boleh mengajukan cross examination terhadapnya.
Setelah pemeriksaan pembuktian berakhir dan sampailah pada tahap akhir (closing statement) dimana jaksa Jepang menyampaikan pendapat tentang fakta yang sudah terbukti di persidangan dan adakalanya menyampaikan keadaan dan perasaan victim of crime atau korban kejahatan, serta mengucapkan tuntutan pidana misalnya jaksa menuntut terdakwa dipidana penjara selama 5 tahun.
Pada tahun 2004 angka pemidanaan di Jepang sangat tinggi dari 837.528 yang dituntut oleh Kejaksaan Jepang, 95 terdakwa dinyatakan tidak bersalah ini berarti angka pembebasan terdakwa hanya mencapai 0,01%. Angka pemidanaan di Jepang sangat tinggi disebabkan Kejaksaan Jepang bertindak sebagai quasi-judiciary yang melakukan penyaringan perkara secara ketat, jika dianggap penuntutan tidak perlu dilakukan (sekalipun pembuktiannya cukup) jaksa akan menangguhkan penuntutan (suspension of prosecution), akibat penyaringan ketat tersebut perkara yang diajukan ke pengadilan hanya yang benar-benar kuat pembuktiannya sehingga akan pemperoleh pemidaan hakim.
Pada tahap pemeriksaan pembuktian yang diajukan oleh masing-masing pihak (jaksa dan pembela) terhadap para saksi masing-masing pihak dapat melakukan cross examination, sedangkan terhadap bukti fisik (dokumen dan barang bukti), masing-masing pihak dapat memberikan komentar atau pernyataan.
Di Amerika dalam tahap persidangan kedua bela pihak dapat meminta hakim untuk menyatakan pembuktian, dan dari pihak lawan dianggap bukan pembuktian, karena diprosesnya atau diperolehnya secara tidak sah dilihat dari hukum acara pidana yang baik.
Tahap pemeriksaan terdakwa, terdakwa harus menjawab pertanyaan jaksa dan pembela (dalam sistem adversarial yang murni seperti Amerika dan Inggris, terdakwa tidak boleh ditanyai oleh jaksa dan pembela, karena akan melanggar asas self ancrimination (memberatkan diri sendiri), kecuali jika terdakwa mau, baru ia diperkenankan menjawab pertanyaan jaksa dan pembela, Akan tetapi pada saat terdakwa duduk ditempat saksi dan dari sudut pandang hukum pada waktu itu ia adalah saksi untuk dirinya sendiri bukan terdakwa, oleh karena itu kedua belah pihak boleh mengajukan cross examination terhadapnya.
Setelah pemeriksaan pembuktian berakhir dan sampailah pada tahap akhir (closing statement) dimana jaksa Jepang menyampaikan pendapat tentang fakta yang sudah terbukti di persidangan dan adakalanya menyampaikan keadaan dan perasaan victim of crime atau korban kejahatan, serta mengucapkan tuntutan pidana misalnya jaksa menuntut terdakwa dipidana penjara selama 5 tahun.
Pada tahun 2004 angka pemidanaan di Jepang sangat tinggi dari 837.528 yang dituntut oleh Kejaksaan Jepang, 95 terdakwa dinyatakan tidak bersalah ini berarti angka pembebasan terdakwa hanya mencapai 0,01%. Angka pemidanaan di Jepang sangat tinggi disebabkan Kejaksaan Jepang bertindak sebagai quasi-judiciary yang melakukan penyaringan perkara secara ketat, jika dianggap penuntutan tidak perlu dilakukan (sekalipun pembuktiannya cukup) jaksa akan menangguhkan penuntutan (suspension of prosecution), akibat penyaringan ketat tersebut perkara yang diajukan ke pengadilan hanya yang benar-benar kuat pembuktiannya sehingga akan pemperoleh pemidaan hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar