Sabtu, 06 Februari 2016

Asas Oportunitas di Asia Pasifik

Asas portunitas di Asia Pasifik
                                                        

Dalam system penuntutan, sudah lama dikenal “ asas oportunit Lokasi as” atau “asas kebijaksanaan menuntut” atau asas discretionary prosecution). Belakangan dinamakan juga sebagai “ asas expediency” (Dalam bahasa kamus, padanan atau sinonimnya adalah oppropriateness, kelayakan, pragmatism, pragmatikal, practicality, praktikal, usefulness, kemanfaatan).

Asas tersebut memberi kesempatan kepada jaksa untuk tidak menuntut perkara pidana, bilamana penuntutan tidak selayaknya dilakukan atau bilamana penuntutan itu  akan merugikan kepentingan umum atau pemerintah. Di negara lain bahkan dampak kerugian bagi kepentingan individu turut diperhitungkan, misalnya di Turki (Hakeri, Euporean Journal on Criminal Policy And Research, Xix,2-3, 2008:161)

Di kawasan Asia Pasifik, asas oportunitas dianut antara lain oleh Kejaksaan Jepang, Korea Selatan Thailand, Kamboja, dan Indonesia yaitu negara-negara yang bertradisi civil law system.

Asas oportunitas juga dipraktikan secara luas atau terbatas antara lain oleh Kejaksaan Filipina, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Myanmar, negara-negara bertradisi common law system dan atau anglo-american law system. Akan tetapi kalau kita bertanya mengenai asas oportunitas kepada jaksa di negara-negara tersebut, mereka tidak memahaminya. Dengan kata lain, para jaksa di negara-negara tersebut mempraktekan asas oportunitas (luas, sedang, atau sangat terbatas), namun tanpa mengenal istilah asas oportunitas.

Dalam latar belakang sejarah penuntutan, sejak awal dekade revolusi, Perancis sudah menerapkan asas oportunitas. Asas tersebut segera diikuti oleh Belanda dan sewaktu Belgia melepaskan diri dari ikatan Belanda, Belgia (Belanda bagian selatan) juga mempertahankan asas oportunitas. DI Perancis dan Belgia, jaksa berwenang mengesampingkan perkara, yang dalam bahasa Perancis dikenal sebagai Classer sans suite (Mulde, 1981:45).

Jaksa Belgia bahkan boleh menghentikan penuntutan dengan percobaan. Artinya, seorang tersangka dihentikan penuntutannya dengan percobaan untuk jangka waktu 6 bulan. Bilamana dalam jangka waktu tersebut ia melakukan lagi tindak pidana, maka penghentian penuntutannya dicabut kembali. Akibatnya, ia akan dituntut baik untuk perbuatan yang pertama, maupun untuk perbuatan yang kedua.

Akan tetapi dalam praktik, pelanggaran atas penangguhan penuntutan jarang sekali terjadi. Rata-rata para pelaku tindak pidana, menjadi jerah dan sangat berhati-hati agar dia tidak berulang melakukan tindak pidana lagi.

Sementara itu, jaksa di Belanda berkuasa menghentikan penuntutan, sekalipun cukup bukti dan saksinya, setiap ia berpendapat, bahwa penuntutan hanya akan  merugikan kepentingan umum, pemerintah, atau perorangan (cf.Jong & Kelk, 1988:37, dengan menunjuk Pasal-pasal 167 ayat (2), dan 242 ayat (2) KUHAP Belanda;cf.Tak,1981:369-381) Tindakan demikian dikenal sebagai “penghentian penuntutan karena alasan kebijakan”, mengingat antara lain, misalnya, tindak pidananya biasa-biasa saja, pelakunya sangat tua, sedangkan pihak korban sudah diberikan ganti rugi.

Dalam keseharian, tindakan semacam itu dikenal sebagai “mengesampingkan perkara” (seport). Di samping itu jaksa Belanda harus melakukan “penghentian penuntutan karena alasan teknis”, antara lain karena bukti dan saksinya tidak cukup atau ada alasan pemaaf, atau kasusnya sudah nebis in idem seperti di ungkapkan Fangman (VROM EPA Procedings 1, 1990).  Dengan kata lain, Kejaksaan Belanda menganut asas oportunitas, yang kemudian diterapkan juga di Indonesia hingga sekarang ini (Abidin Farid,1977) Namun sejak 1961, asas oportunitas menjadi wewenang eksklusif Jaksa Agung RI.

Penghentian penuntutan yang dipraktikan di Belgia dan Belanda seperti itu, di Jepang dikenal sebagai “ penangguhan penuntutan”, Jaksa Jepang memang penganut kuat asas oportunitas. Kitab Undang-Undang HUkum Acara Pidana (KUHAP) Jepang, Pasal 248.memberkan wewenang kepada Jaksa untuk penangguhan penuntutan, dengan syarat “mengingat tabiat, usia, keadaan pelaku tindak pidana, berat ringan dan keadaan perbuatannya, atau kondisi perbuatannya.

”Suzuki, UNFEI Report, 1979; cf Dando, American Journal of Comparative Law, 18, 1970) Lebih dari setengah perkara pidana kekayaan (misalnya pencurian) dihentikan proses penuntutannya, mengingat pelakunya sudah berumur lanjut atau sudah uzur (Surachman dan Andi Hamzah, 1996).

Beberapa negara di Eropa, dewasa ini diskresi jaksa lebih luas daripada diskresi jaksa sebelumnya. Misalnya di Norwegia, Swedia, Firlandia, Jerman, dan Belanda, Di negara-negara tersebut jaksa berwenang menjatuhkan penghukuman tanpa melibatkan hakim, dikenal sebagai panel order. Kalaupun harus mendapat persetujuan hakim, jarang sekali hakim menolaknya. (cf Rostad, UANFEI Report, 1986, de Cavarly, dalam Jehle &Wade, 2006:1989-190: juga Jehle, Smit Zila, 2008: 169-273).

Di Perancis penal order oleh jaksa sudah diterapkan sejak KUHAP Napoleon (1808), dengan sebutan ordonnance penale (ide Cavarlay, dalam Jehle & Wade, 2006: 189-190;Jehle, Smit, Zila, 2008 : 169-173 dan Luna & Wade, 2010:1444).

Sejak 2001 Perancis memperkenalkan semacam penal order yang lain, yakni  composition penale. Dalam kedua jenis penal order tersebut, Hakim Perancis hampir dipastikan tidak akan menolak rekomendasi jaksa

Sanksi composition penal, misalnya pembekuan SIM, palarangan menggunakan kendaraan si pelaku selama jangka waktu tertentu atau melakukan pekerjaan tanpa diupah paling lama 50 jam (de Cavarlay, dalam Jehle &Wade,2006 :190-191).



Tidak mustahil Perancis akan diikuti oleh Jaksa di Kawasan Asia Pasifik, khususnya di Kamboja, mengingat KUHAP 2007 Kamboja didesain berorientasi ke model KUHAP Perancis 1958. Sedangkan model penal order Belanda, cepat atau lambat dimodifikasi oleh Kejaksaan di Indonesia.

Asas Legalitas.

Kebalikan “asas kebijaksanaan menurut” (asas oportunitas) adalah “asas kewajiban menurut” (mandatory prosedution). Di negara-negara yang menganut asas ini, jaksa akan menuntut setiap perkara ke pengadilan, Kejaksaan di Jerman, Austria, Italia, Portugal, Spanyol, dan Polandia menganut asas kewajiban menuntut. Namun belakangan ini para jaksa di Jerman, Austria, dan Polandia diperbolehkan mengesampingkan perkara beberapa kejahatan tertentu atau boleh menerapkan asas oportunitas secara terbatas.
Penghentian penuntutan dengan percobaan (pretrial probation) misalnya, dipastikan juga di Jerman (Fogel, 1988:161 dan 239) padahal jaksa Jerman menganut asas legalitas.

Selanjutnya menurut ketentuan Pasal-pasal 152, 153-153e, 154-154e HUKAP Jerman (Strafprozessordnung) Jaksa Jerman boleh tidak menuntut perkara apabila menurut pendapatnya “bobot kesalahannya ringan dan kepentingan umum tidak menghendaki dijalankannya penuntutan.” Perkara yang boleh dikesampingkan di Jerman meliputi perkara membobol rumah untuk melakukan kejahatan, perkara white collar crime; dan pelecehan seksual sanpa kekerasan terhadap anak di bawah umur (Horstkotte, UNEFEI Report, 1980).

DI Amerika dan Inggris

Jaksa di Amerika dan Inggris dan negara-negara yang bertradisi common law system dan anglo-american law system tidak mengenal istilah asas oportunitas. Walaupun begitu mereka menjalankan asas tersebut dengan istilah discretionary prosecution atau expediency principle. Terutama para jaksa di Amerika Serikat (District Attorney dan US Attorney) paling dominan sewaktu menjalankan wewenang diskresinya pada setiap tahapan proses pidana.

Dalam setiap waktu, mereka bisa menghentikan penuntutan. Para jaksa boleh menawarkan jumlah dakwaan. Kalau tadinya ada lima dakwaan, misalnya lalu dikurangi menjadi dua dakwaan saja. Atau tadinya dakwaannya berat, karena terdakwa mau mengaku, maka jaksa mau menggantinya dengan dakwaan yang bersanksi lebih ringan.

Bernegosiasi semacam itu dikenal sebagai plea bargaining, dan sudah dipraktikan sejak lama (Weston dan Wells,1973:79-80;LeGrande,1973:73-74;Romli Atmasasmita,1980:69-89), Dengan sedikit modifikasi, negosiasi seperti itu dilakukan juga oleh jaksa Singapura (Pereira, UNAFEI Report, 1982).

Kejaksaan Inggris (Crown Prosecution Service), yang baru dibentuk di tahun 1986, boleh menghentikan penuntutan karena alasan kebijakan, kalau tindak pidananya biasa-biasa saja, pelakukanya sudah tua, atau masih remaja. Tentu saja jaksa Inggris harus menghentikan penuntutan karena alasan teknis, semisal bukti dan saksinya tidak memadai, atau peristiwanya sudah sangat basi (wood, Asian Journal, 1990.




Jaksa Agung Inggris boleh menghentikan perkara yang sudah masuk pengadilan, melalui upaya hukum nolle prosequi, istilah latin ini berarti” tidak akan menuntut”,Caranya Jaksa Agung memberitahu pengadilan, bahwa dirinya tidak akan menuntut  perkara tersebut (Karlen, Sawer, and Wise, 1967).

Kewenangn Jaksa Agung Inggris tersebut diikuti oleh  negara-negara bertradisi common law system di seluruh dunia, termasuk di kawasan Asia Pasifik. Akan tetapi adakalanya, istlah nolle  prosequi sendiri tidak digunakan, (lihat misalnya, KUHAP Singapura, Malaysia dan Myanmar).

Pengwasan

Mengingat asas oportunitas bisa menimbulkan kesewenang-wenangan (arbitrary), diupayakan pelbagai cara pengawasannya. Dalam hal ini pedoman diskresi penuntutan itu harus sangat penting diadakan, akan tetapi harus seimbang dengan kedudukan jaksa yang dominan. Pedoman yang tidak lentur, terlalu rigid, akan mengurangi makna dan manfaat diskresi dan ini adalah “kebebasan menerobos aturan” dan dilakukan tidak keluar dari “ aturan bernalar dan aturan keadilan”Wilcox,1972:116).

Pencegahan lain, misalnya dilakukan pengawasan oleh kejaksaan yang lebih tinggi. Dalam hubungan ini di RR Tingkok, Korea Selatan, Filipina, dan Thailand, keputusan Jaksa Agung untuk menuntut, dapat minta dibatalkan kepada kejaksaan yang lebih tinggi, baik oleh korban kejahatan maupun oleh penyidik. Terutama standar etika merupakan benteng terakhir bagi para jaksa sewaktu menjalankan kekuasaan diskresinya yang besar itu.

1 komentar: