Diskresi Jaksa Beberapa Negara di Kawasan Asia Pasifik.
Dalam literature hukum Bahasa Indonesia, istilah diskresi belum lama dipahami. Sebelumnya lebih dikenal istilah freies ermmesen, dari bahasa Jerman, melalui hukum tata usaha negara (bestuursrecht) di negeri Belanda. Sedangkan di Perancis dikenal sebagai pouvoir discretionnaire.
Bambang Waluyo (Waluyo,et al,2000:8-9), dari hasil penelitiannya, memberikan makna diskresi sebagai berikut.
• “Kebijaksanaan atas dasar pertimbangan keadilan semata-mata dengan tidak terkait kepada ketentuan undang-undang,”dalam kamus (Soebekti, 1980);
• Ability to choose wisely or to judge for oneself atau “kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri.”Dalam kamus (Burrow, 1966);
• The freedom to break the rules (but it is) done within the rules of reasons and justice atau “kebebasan menerobos aturan {namun] dilakukan dengan tidak keluar dari ‘aturan bernalar dan aturan keadilan.’” (Wilcox, 1972:112 dalam Surachman, 1996:76).
Dihubungkan dengan system penuntutan, praktik (de facto) menunjukkan, bahwa tidak jarang jaksa atau penuntut umum melakukan diskresi penuntutan, umpamanya dengan jalan menerapkan penangguhan penuntutan sementara penangguhan penuntutan parmanen, yang di Indonesia dipahami sebagai mengesampingkan perkara demi kepentingan hukum (public interst drop).
Harus diperhatikan bahwa penghentian penuntutan atau simple drop, sesungguhnya bukan merupakan diskresi. Simple drop, adalah penghentian penuntutan karena alasan teknis, umpamanya kurang cukup bukti, atau alasan pemaaf, atau perkaranya sudah ne bis in idem, atau dalam hal tersangka atau terdakwanya meninggal dunia. Singkatnya penuntutan dihentikan demi hukum.
Diskresi Jaksa Beberapa Negara di Kawasan Asia Pasifik.
Dalam literature hukum Bahasa Indonesia, istilah diskresi belum lama dipahami. Sebelumnya lebih dikenal istilah freies ermmesen, dari bahasa Jerman, melalui hukum tata usaha negara (bestuursrecht) di negeri Belanda. Sedangkan di Perancis dikenal sebagai pouvoir discretionnaire.
Bambang Waluyo (Waluyo,et al,2000:8-9), dari hasil penelitiannya, memberikan makna diskresi sebagai berikut.
• “Kebijaksanaan atas dasar pertimbangan keadilan semata-mata dengan tidak terkait kepada ketentuan undang-undang,”dalam kamus (Soebekti, 1980);
• Ability to choose wisely or to judge for oneself atau “kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri.”Dalam kamus (Burrow, 1966);
• The freedom to break the rules (but it is) done within the rules of reasons and justice atau “kebebasan menerobos aturan {namun] dilakukan dengan tidak keluar dari ‘aturan bernalar dan aturan keadilan.’” (Wilcox, 1972:112 dalam Surachman, 1996:76).
Dihubungkan dengan system penuntutan, praktik (de facto) menunjukkan, bahwa tidak jarang jaksa atau penuntut umum melakukan diskresi penuntutan, umpamanya dengan jalan menerapkan penangguhan penuntutan sementara penangguhan penuntutan parmanen, yang di Indonesia dipahami sebagai mengesampingkan perkara demi kepentingan hukum (public interst drop).
Harus diperhatikan bahwa penghentian penuntutan atau simple drop, sesungguhnya bukan merupakan diskresi. Simple drop, adalah penghentian penuntutan karena alasan teknis, umpamanya kurang cukup bukti, atau alasan pemaaf, atau perkaranya sudah ne bis in idem, atau dalam hal tersangka atau terdakwanya meninggal dunia. Singkatnya penuntutan dihentikan demi hukum.
Asas Kebijaksanaan Penuntutan
Para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dan juga pejabat lembaga pemasyarakatan, dalam situasi tertentu masing-masing diberi keleluasaan bertindak berdasarkan diskresi (discresitio) atau kebijaksanaan. Selain tentu saja mereka wajib mematuhi kebijakan (policy) yang dikeluarkan oleh pimpinannya.
Umpamanya, seorang petugas polisi tidak memproses seorang yang melakukan pencurian tiga buah kakao milik perkebunan besar. Di sini poliisi melakukan diskresi polisi, yakni hanya memberikan peringatan saja, mengingat tersangkanya sudah lanjut usia, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf.
Contoh lain, Secara universal hakim mempunyai diskresi yang sangat longgar dalam menentukan lama pidana atau besar denda yang dijatuhkan, asal saja ia tidak melanggar maksimum dan minimum pidana atau maksimum dan minimum denda yang ditentukan oleh undang-undang. Misalnya dalam kasus pencurian kakao di atas, polisi tetap memberkas perkara dan mengajukannya ke sidang pengadilan dan juga lolos dari saringan jaksa, namun mengingat tersangkanya sudah lanjut umur, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf, hakim ternyata menjatuhkan pidana denda, atau menjatuhkan pidana kurungan selama 7 hari dengan tidak usa dilaksanakan, kalau syarat-syaratnya dipenuhi.
Dalam bahasa sehari-hari, tindakan hakim tersebut adalah menjatuhkan pidana percobaan, Bahkan teoritikal, hakim di Indonesia pun boleh menjatuhkan denda percobaan. Akan tetapi dngan jenis pidana demikian, uang denda harus dilunasi terlebih dahulu, dan kalau masa percobaan sudah dilewati, terpidana dapat meminta uang tersebut dikembalikan kepadanya.
Di Malaysia, Singapura, dan Brunei mengenai tindak pidana narkotika tertentu, hakim tidak memiliki diskresi sama sekali, karena kalau terdakwa terbukti bersalah, hakim wajib menjatuhkan pidana mati (mandatory death sentence), tanpa alternative pemidanaan lainnya. Satu-satunya cara terpidana lolos dari jerat tali gantungannya, hanya kalau Kepala Negara berkenan memberikan pardon, semacam grasi.
Mengenai diskresi pejabat lembaga pemasyarakatan, dapat terjadi setiap kali pejabat tersebut menimbang-nimbang berapa besaran masa pengurangan pidana (remisi) yang harus diberikan kepada seorang narapidana, dengan mengingat hasil penilaian perilaku napi yang bersangkutan selama menjalani “binaan” di lapas yang bersangkutan.
Sepetrti disinggu di muka, diskresi yang dilakukan oleh jaksa (diskresi penuntutan) bisa terjadi dalam hal jaksa memutuskan suatu penangguhan penuntutan dengan satu atau beberapa ketentuan, umpamanya tersangkanya bukan residivis dan sudah berumur lanjut (di Jepang dan Belanda, berumur 70 tahun ke atas) atau sebaliknya, umur tersangka terlalu muda (berumur kurang dari 12 tahun.
Di Inggris (England & Wales), polisi sudah selama tiga dekade melakukan praktik memberi peringatan (caution) terhadap pelaku tindak pidana yang tidak terlalu penting. Namun sejak Kejaksaan England &Wales (Crown Prosecution Service/CPS) dibentuk dalam tahun 1986, tindakan polisi semacam itu harus sepengetahuan jaksa (Crown Prosecution) atau atas permintaan jaksa atau bahkan harus dilakukan bersama jaksa (Jehle, Smit, Zila, European Journal on Criminal Policy and Research, XIV,2-3,2008:197).
Diskresi penuntutan yang lain, umpamanya dalam hal jaksa hanya menuntut dengan satu pasal yang berisi ancaman pidana yang lebih rendah dari pasal-pasal lainnya. Padahal dalam surat dakwaannya, untuk kasus yang bersangkutan dia dapat menuntut lebih dari satu pasal (baik tuntutan alternative maupun tuntutan komulatif atau dalam bahasa media sosial dikenal sebagai tuntutan berlapis).
Tindakan sebaliknya pun sangat dimungkinkan, Dalam kasus serupa, jaksa hanya menuntut dengan pasal yang paling berat ancaman pidananya, serta tidak menuntut pasal-pasal yang ancaman pidananya lebih ringan.
Dari contoh-contoh dimuka, tampak sekali, bahwa jaksa adalah dominus litis atau seorang penguasa perkara (master of the procedure). Dikatakan juga jaksa merupakan penyaring utama perkara-perkara yang diterima dari penyidik manapun. Sebenarnya, secara universal, wewenang tersebut atau the power to prosecute berada di tangan jaksa.
Jaksa tidak sepatutnya menjelma sebagai “robot”, tetapi bekerja secara professional, penuh pertimbangan dan bijaksana dengan tetap bergerak sepanjang koridor objektivitasnya. Menurut mereka yang disangka bersalah, jaksa menjalankan hak mutlaknya, yaitu hak untuk menentukan menuntut atau tidak menuntut tersangka namun dengan berpegang teguh pada prinsip praduga tidak bersalah atau prinsip presumption innocentiae dan prinsip in dubio pro reo. Dengan demikian, jaksa mampoun menjaga jangan sampai seseorang dijatuhi pidana untuk tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya.
Memang di banyak negara, termasuk di Kawasan Asia Pasifik jaksa itu berperan ganda: sebagai penyelenggara atau administrator bertindak seperti setengah hakim atau semi judge, yakni berkuasa sebagai hakim semu atau quasi judicial authority (Douglass, 1977) dan Fisher (Prosecutor, 1989).
Sebagai prosecutor dan administrator, jaksa bertugas selaku penuntut umum, yakni menuntut perkara dengan tujuan menghasilkan penjatuhan pidana dari pengadilan sebanyak mungkin dan seberat mungkin. Namun dalam statusnya sebagai semi judge atau quasi judicial officer, jaksa berfungsi seperti seorang “menteri kehakiman”, yaitu melindungi yang tidak bersalah, mempertimbangkan hak-hak tersangka, dan mencegah terjadinya penuntutan atas dasar balas dendam (malice prosecution). Itulah sebabnya, jaksa diberi wewenang menghentikan proses perkara, baik karena alasan teknis (menghentikan penuntutan atau simple drop), maupun karena alasan kepentingan umum (mengesampingkan perkara atau public interest drop).
Para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dan juga pejabat lembaga pemasyarakatan, dalam situasi tertentu masing-masing diberi keleluasaan bertindak berdasarkan diskresi (discresitio) atau kebijaksanaan. Selain tentu saja mereka wajib mematuhi kebijakan (policy) yang dikeluarkan oleh pimpinannya.
Umpamanya, seorang petugas polisi tidak memproses seorang yang melakukan pencurian tiga buah kakao milik perkebunan besar. Di sini poliisi melakukan diskresi polisi, yakni hanya memberikan peringatan saja, mengingat tersangkanya sudah lanjut usia, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf.
Contoh lain, Secara universal hakim mempunyai diskresi yang sangat longgar dalam menentukan lama pidana atau besar denda yang dijatuhkan, asal saja ia tidak melanggar maksimum dan minimum pidana atau maksimum dan minimum denda yang ditentukan oleh undang-undang. Misalnya dalam kasus pencurian kakao di atas, polisi tetap memberkas perkara dan mengajukannya ke sidang pengadilan dan juga lolos dari saringan jaksa, namun mengingat tersangkanya sudah lanjut umur, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf, hakim ternyata menjatuhkan pidana denda, atau menjatuhkan pidana kurungan selama 7 hari dengan tidak usa dilaksanakan, kalau syarat-syaratnya dipenuhi.
Dalam bahasa sehari-hari, tindakan hakim tersebut adalah menjatuhkan pidana percobaan, Bahkan teoritikal, hakim di Indonesia pun boleh menjatuhkan denda percobaan. Akan tetapi dngan jenis pidana demikian, uang denda harus dilunasi terlebih dahulu, dan kalau masa percobaan sudah dilewati, terpidana dapat meminta uang tersebut dikembalikan kepadanya.
Di Malaysia, Singapura, dan Brunei mengenai tindak pidana narkotika tertentu, hakim tidak memiliki diskresi sama sekali, karena kalau terdakwa terbukti bersalah, hakim wajib menjatuhkan pidana mati (mandatory death sentence), tanpa alternative pemidanaan lainnya. Satu-satunya cara terpidana lolos dari jerat tali gantungannya, hanya kalau Kepala Negara berkenan memberikan pardon, semacam grasi.
Mengenai diskresi pejabat lembaga pemasyarakatan, dapat terjadi setiap kali pejabat tersebut menimbang-nimbang berapa besaran masa pengurangan pidana (remisi) yang harus diberikan kepada seorang narapidana, dengan mengingat hasil penilaian perilaku napi yang bersangkutan selama menjalani “binaan” di lapas yang bersangkutan.
Sepetrti disinggu di muka, diskresi yang dilakukan oleh jaksa (diskresi penuntutan) bisa terjadi dalam hal jaksa memutuskan suatu penangguhan penuntutan dengan satu atau beberapa ketentuan, umpamanya tersangkanya bukan residivis dan sudah berumur lanjut (di Jepang dan Belanda, berumur 70 tahun ke atas) atau sebaliknya, umur tersangka terlalu muda (berumur kurang dari 12 tahun.
Di Inggris (England & Wales), polisi sudah selama tiga dekade melakukan praktik memberi peringatan (caution) terhadap pelaku tindak pidana yang tidak terlalu penting. Namun sejak Kejaksaan England &Wales (Crown Prosecution Service/CPS) dibentuk dalam tahun 1986, tindakan polisi semacam itu harus sepengetahuan jaksa (Crown Prosecution) atau atas permintaan jaksa atau bahkan harus dilakukan bersama jaksa (Jehle, Smit, Zila, European Journal on Criminal Policy and Research, XIV,2-3,2008:197).
Diskresi penuntutan yang lain, umpamanya dalam hal jaksa hanya menuntut dengan satu pasal yang berisi ancaman pidana yang lebih rendah dari pasal-pasal lainnya. Padahal dalam surat dakwaannya, untuk kasus yang bersangkutan dia dapat menuntut lebih dari satu pasal (baik tuntutan alternative maupun tuntutan komulatif atau dalam bahasa media sosial dikenal sebagai tuntutan berlapis).
Tindakan sebaliknya pun sangat dimungkinkan, Dalam kasus serupa, jaksa hanya menuntut dengan pasal yang paling berat ancaman pidananya, serta tidak menuntut pasal-pasal yang ancaman pidananya lebih ringan.
Dari contoh-contoh dimuka, tampak sekali, bahwa jaksa adalah dominus litis atau seorang penguasa perkara (master of the procedure). Dikatakan juga jaksa merupakan penyaring utama perkara-perkara yang diterima dari penyidik manapun. Sebenarnya, secara universal, wewenang tersebut atau the power to prosecute berada di tangan jaksa.
Jaksa tidak sepatutnya menjelma sebagai “robot”, tetapi bekerja secara professional, penuh pertimbangan dan bijaksana dengan tetap bergerak sepanjang koridor objektivitasnya. Menurut mereka yang disangka bersalah, jaksa menjalankan hak mutlaknya, yaitu hak untuk menentukan menuntut atau tidak menuntut tersangka namun dengan berpegang teguh pada prinsip praduga tidak bersalah atau prinsip presumption innocentiae dan prinsip in dubio pro reo. Dengan demikian, jaksa mampoun menjaga jangan sampai seseorang dijatuhi pidana untuk tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya.
Memang di banyak negara, termasuk di Kawasan Asia Pasifik jaksa itu berperan ganda: sebagai penyelenggara atau administrator bertindak seperti setengah hakim atau semi judge, yakni berkuasa sebagai hakim semu atau quasi judicial authority (Douglass, 1977) dan Fisher (Prosecutor, 1989).
Sebagai prosecutor dan administrator, jaksa bertugas selaku penuntut umum, yakni menuntut perkara dengan tujuan menghasilkan penjatuhan pidana dari pengadilan sebanyak mungkin dan seberat mungkin. Namun dalam statusnya sebagai semi judge atau quasi judicial officer, jaksa berfungsi seperti seorang “menteri kehakiman”, yaitu melindungi yang tidak bersalah, mempertimbangkan hak-hak tersangka, dan mencegah terjadinya penuntutan atas dasar balas dendam (malice prosecution). Itulah sebabnya, jaksa diberi wewenang menghentikan proses perkara, baik karena alasan teknis (menghentikan penuntutan atau simple drop), maupun karena alasan kepentingan umum (mengesampingkan perkara atau public interest drop).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar