Jumat, 19 Februari 2016

PERKAWINAN


HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
PERKAWINAN

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal, maka suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.

Untuk mncapai keluarga yang bahagia dan kekal tersebut maka :
1.    Harus mempunyai pekerjaan/penghasilan tetap terutama suami
2.    Mempunyai rumah tempat kediaman yang tetap.
3.    Wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
4.    Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hdup berumah tangga sesuai kemampuannya.
5.    Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Hak da kedudukan istri adalah seimbangdengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.


HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK 
1.    Salah satu tujuan orang kawin ialah karena mengharapkan keturunan (anak), sehingga kelak setelah lanjut usianya ada yang menjaga dan memeliharanya.Oleh karena itulah antara  orang tua dan anak timbul hak dan kewajiban.
2.    Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik dengan bagi anak-anaknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.Kewajiban ini berlaku terus walaupun perkawinan kedua orang tua putus (kematian,perceraian).
3.    Sebaliknya anak wajib menghormati kedua orang tua dan menaati kehandak mereka yang baik. Apabila anak telah dewasa, ia wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas menurut kemampuannya kalau mereka memerlukan bantuan.
4.    Apabila anak belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, maka ia berada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, sehingga orang tua mewakili anak tersebut mengenai anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Kekuasaan orang tua dapat dicabut berdasarkan keputusan pengadilan dengan alasan ;  
Sangat melalaikan kewajibanya terhadap anaknya.
Orang tua berkelakuan buruk sekali.

Yang dapat memintakan pencabutan hak ialah :
1.    Salah satu orang tua kalau hanya seorang saja yang melalaikan kewajibannya dan berkelakuan buruk
2.    Keluarga anak dalam garis lurus ke atas
3.    Saudara kandung yang telah dewasa
4.    Pejabat yang berwenang



HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN 
-    Semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah menjadi harta bersama suami dan istri.
-    Apabila ada hata bawaan dari masig-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan, itu adalah dibawah penguasaan masing-masing kecualipada pihak (suami-istri) menentukan lain.
-    Terhadap harta bersama, misalnya : hendak dijual, disewakan dan lain-lain.
-    Tetapi kalau harta bawaan, hadiah atau warisan, maka masing-masing suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan huku terhadap hartanya seperti menjual, menyewakan, menggadaikan dan sebagaina.

 
PEMBATALAN PERKAWINAN
 
Perkawinan dapat dibatalkan dengan alasan sebagai berikut :
1.    Tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan
2.    Tidak adanya izin bagi mereka yang melangsungkan perkawinan baru.
3.    Pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau perkawinan yang tidak dhadiri 2 orang saksi
4.    Perkawinan dilangsungkan karena adaya ancaman yang melanggar hukum
5.    Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Khusus alasan No.4 dan No. 5 di atas perlu diketahui, bahwa apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya sedangkan dalam tempo 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ialah :
1.    Para keluaga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
2.    Suami atau Istri.
3.    Jaksa atas dasar Wali nikah yang tidak sah atau perkawinan yang tidak dihadiri 2 orang saksi.
4.    Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
5.    Pejabat yang ditunjuk berdasarkan pasal 16 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan setiap orang yang berkentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersbut, tetapi hanya setalah perkawinan itu putus.

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya  perkawinan.

Hanya pengadilan yang dapat memutuskan batalnya suatu perkawinan. Selain dari pengadilan tidak ada orang atau suatu badan hukum lain yang dapat membatalkan suatu perkawinan.


PENCEGAHAN PERKAWINAN 
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak-pihak (pria atau wanita) yang tidak memenui syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
 
Yang dapat mencegah perkawinan adalah :
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dank e bawab
2. Saudara.
3.Wali nikah
4. Wali pengampu dari salah seorang calon mempelai
5. pihak-pihak yang berkentingan
6. Suami atau istri yang masih terikat tali perkawinan, terkecuali sudah ada izin pengadilan karena adanya alasan-alasan tertentu
7.Pejabat yang ditunjuk dalam hal:
a. Perkawina tidak memenuhi syarat.
b. Ada Larangan kawin
c. Masih terikat tali perkawinan antara suami isatri, sedangkan tidak ada izin pengadilan.
d. Yang telah cerai dengan istrinya kedua kali, kemudian mau kawin (rujuk) kembali.
e. Tidak memenhi tata cara perkawinan.

Pencegahan perkawinan diajkan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.

Pegawai pencatat memberitahukan adanya pencegahan tersebut kepada calon-calon mempelai

Selama pencegahan belum dicabut, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan
Penceahan perkawinan dapat dicabut dengan :
1 Putusan pengadilan
2. Penarikan kembali oleh pemohon pencegahan.

TATA CARA PERKAWINAN

TATA CARA PERKAWINAN
TATA CARA PERKAWINAN

Untuk melangsngkan perkawinan maka harus mengikuti tata cara sebagai berikut :
1.    Setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegaai Pencacat.
2.    Dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing
3.    Dilakukan dihadapan Pegaai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
4.    Menanda tangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencacat.
5.    Akta perkawinan juga harus ditanda tanganioleh  :

-    Kedua orang tua
-    Pegawai pencatat
-    Yang beragama Islam ditanda tangani pula oleh Wali Nikah atau yang mewakilinya.
Setelah penanda tanganan akta perkawinan maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

Kepada masing-masing suami dan istri diberikan kutipan akta perkawinan

PENCATATAN PERKAWINAN

PENCATATAN PERKAWINAN
PENCATATAN PERKAWINAN

Mereka yang melangsungkan perkawinan harus mencatatkan diri terlebih dahulu pada :

1.    Kator Agama (Pegawai Pencacat Nikah, Talak, Rujuk) bagi mereka yang meragama Islam.
2.    Kantor Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam. Perkawinan yang tidak tercacat pada Kantor tersebut di atas adalah tidak sah dan dapat dibatalkan.

Oleh karena itu yang akan melagsungkan pernikahan harus :
•    Memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencacat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
•    Pemberitahuan dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan berlangsung.

3.    Apabila karena sesuatu hal yang penting jangka waktu tersebut di atastidak dipenuhi, maka penecualian ini diberikan oleh Camat atas nama Bupati/Walikota.

4.    Pemberitahuan tersebut dilakukan baik  lisan maupun tertulis oleh calon mempelai atau orang tua walinya.

5.    Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman, calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.

LARANGAN PERKAWINAN

LARANGAN PERKAWINAN
LARANGAN PERKAWINAN

Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
1.    Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
2.    Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu anara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3.    Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/ bapak tiri.
4.    Berhubungan susuan,yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudarasusuan, dan bibi/paman susuan.
5.    Berhubngan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau keponakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebh dari seorang.
6.    Mempunyai hungan yang oleh agamnya atau peraturan yang lain yang berlaku, dilarang kawin.
-    Suami istri yang masih terikat tali perkawinan tidak dapat kawin lagi, kecuali ada izin Pengadilan.
-    Pengadilan hanya memberi izin kepada seorang suami untuk kawin lagi apabila :
= Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
= Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembukan.
= Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
-    Untuk mengajukan permohona kepada pengadilan, maka seorang suami yang hendak kawin lagi diperlukan syarat-syarat yaitu :
= Adanya persetujuan istri/istri-istri.
Adanya kepastian bahwa ia mampu menjamin hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
= Adanya jaminan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

-    Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Oleh Karena perkawinan bertujuan untuk membentuk kelurga yang kekal dan bahagia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak tanpa adanya paksaan dari phak manapun juga. Perkawinan paksa sebaiknya dihindari. Telah meninggal
-    Untuk melangsungkan perkawinan bagi yang belum mencapai 21 harus ada izin kedua orang tua.
-   
•    Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup dari orang tua yang masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya.

Sarat-syarat perkawinan


•    Kalau kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali.

-    Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria (laki-laki) sudah berumur 19 tahun dan phak wanita (perempuan) sudahberumur 16 tahun.
•    Apabila perkawinan terpaksa haus dilaksanakan dibawah umur tersebut di atas, maka harus ada dispensasi dari Pengadilan (yang beragama Islam di Pengadilan Agama dan yang lainnya di Pengadlan Negeri).
Kenapa harus dicegah adanya perkawinan dibawah   umur, antara lain.
-    Agar calon suami-istri telah masak jiwa raganya baru kawin.
-    Untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan.
-    Untuk mensukseskan Program Keluarga Berencana.
Bagi seorang wanita yang kawin pada umur lebh rendah (masih muda) dapat mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.

Sabtu, 06 Februari 2016

Asas Oportunitas di Asia Pasifik

Asas portunitas di Asia Pasifik
                                                        

Dalam system penuntutan, sudah lama dikenal “ asas oportunit Lokasi as” atau “asas kebijaksanaan menuntut” atau asas discretionary prosecution). Belakangan dinamakan juga sebagai “ asas expediency” (Dalam bahasa kamus, padanan atau sinonimnya adalah oppropriateness, kelayakan, pragmatism, pragmatikal, practicality, praktikal, usefulness, kemanfaatan).

Asas tersebut memberi kesempatan kepada jaksa untuk tidak menuntut perkara pidana, bilamana penuntutan tidak selayaknya dilakukan atau bilamana penuntutan itu  akan merugikan kepentingan umum atau pemerintah. Di negara lain bahkan dampak kerugian bagi kepentingan individu turut diperhitungkan, misalnya di Turki (Hakeri, Euporean Journal on Criminal Policy And Research, Xix,2-3, 2008:161)

Di kawasan Asia Pasifik, asas oportunitas dianut antara lain oleh Kejaksaan Jepang, Korea Selatan Thailand, Kamboja, dan Indonesia yaitu negara-negara yang bertradisi civil law system.

Asas oportunitas juga dipraktikan secara luas atau terbatas antara lain oleh Kejaksaan Filipina, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Myanmar, negara-negara bertradisi common law system dan atau anglo-american law system. Akan tetapi kalau kita bertanya mengenai asas oportunitas kepada jaksa di negara-negara tersebut, mereka tidak memahaminya. Dengan kata lain, para jaksa di negara-negara tersebut mempraktekan asas oportunitas (luas, sedang, atau sangat terbatas), namun tanpa mengenal istilah asas oportunitas.

Dalam latar belakang sejarah penuntutan, sejak awal dekade revolusi, Perancis sudah menerapkan asas oportunitas. Asas tersebut segera diikuti oleh Belanda dan sewaktu Belgia melepaskan diri dari ikatan Belanda, Belgia (Belanda bagian selatan) juga mempertahankan asas oportunitas. DI Perancis dan Belgia, jaksa berwenang mengesampingkan perkara, yang dalam bahasa Perancis dikenal sebagai Classer sans suite (Mulde, 1981:45).

Jaksa Belgia bahkan boleh menghentikan penuntutan dengan percobaan. Artinya, seorang tersangka dihentikan penuntutannya dengan percobaan untuk jangka waktu 6 bulan. Bilamana dalam jangka waktu tersebut ia melakukan lagi tindak pidana, maka penghentian penuntutannya dicabut kembali. Akibatnya, ia akan dituntut baik untuk perbuatan yang pertama, maupun untuk perbuatan yang kedua.

Akan tetapi dalam praktik, pelanggaran atas penangguhan penuntutan jarang sekali terjadi. Rata-rata para pelaku tindak pidana, menjadi jerah dan sangat berhati-hati agar dia tidak berulang melakukan tindak pidana lagi.

Sementara itu, jaksa di Belanda berkuasa menghentikan penuntutan, sekalipun cukup bukti dan saksinya, setiap ia berpendapat, bahwa penuntutan hanya akan  merugikan kepentingan umum, pemerintah, atau perorangan (cf.Jong & Kelk, 1988:37, dengan menunjuk Pasal-pasal 167 ayat (2), dan 242 ayat (2) KUHAP Belanda;cf.Tak,1981:369-381) Tindakan demikian dikenal sebagai “penghentian penuntutan karena alasan kebijakan”, mengingat antara lain, misalnya, tindak pidananya biasa-biasa saja, pelakunya sangat tua, sedangkan pihak korban sudah diberikan ganti rugi.

Dalam keseharian, tindakan semacam itu dikenal sebagai “mengesampingkan perkara” (seport). Di samping itu jaksa Belanda harus melakukan “penghentian penuntutan karena alasan teknis”, antara lain karena bukti dan saksinya tidak cukup atau ada alasan pemaaf, atau kasusnya sudah nebis in idem seperti di ungkapkan Fangman (VROM EPA Procedings 1, 1990).  Dengan kata lain, Kejaksaan Belanda menganut asas oportunitas, yang kemudian diterapkan juga di Indonesia hingga sekarang ini (Abidin Farid,1977) Namun sejak 1961, asas oportunitas menjadi wewenang eksklusif Jaksa Agung RI.

Penghentian penuntutan yang dipraktikan di Belgia dan Belanda seperti itu, di Jepang dikenal sebagai “ penangguhan penuntutan”, Jaksa Jepang memang penganut kuat asas oportunitas. Kitab Undang-Undang HUkum Acara Pidana (KUHAP) Jepang, Pasal 248.memberkan wewenang kepada Jaksa untuk penangguhan penuntutan, dengan syarat “mengingat tabiat, usia, keadaan pelaku tindak pidana, berat ringan dan keadaan perbuatannya, atau kondisi perbuatannya.

”Suzuki, UNFEI Report, 1979; cf Dando, American Journal of Comparative Law, 18, 1970) Lebih dari setengah perkara pidana kekayaan (misalnya pencurian) dihentikan proses penuntutannya, mengingat pelakunya sudah berumur lanjut atau sudah uzur (Surachman dan Andi Hamzah, 1996).

Beberapa negara di Eropa, dewasa ini diskresi jaksa lebih luas daripada diskresi jaksa sebelumnya. Misalnya di Norwegia, Swedia, Firlandia, Jerman, dan Belanda, Di negara-negara tersebut jaksa berwenang menjatuhkan penghukuman tanpa melibatkan hakim, dikenal sebagai panel order. Kalaupun harus mendapat persetujuan hakim, jarang sekali hakim menolaknya. (cf Rostad, UANFEI Report, 1986, de Cavarly, dalam Jehle &Wade, 2006:1989-190: juga Jehle, Smit Zila, 2008: 169-273).

Di Perancis penal order oleh jaksa sudah diterapkan sejak KUHAP Napoleon (1808), dengan sebutan ordonnance penale (ide Cavarlay, dalam Jehle & Wade, 2006: 189-190;Jehle, Smit, Zila, 2008 : 169-173 dan Luna & Wade, 2010:1444).

Sejak 2001 Perancis memperkenalkan semacam penal order yang lain, yakni  composition penale. Dalam kedua jenis penal order tersebut, Hakim Perancis hampir dipastikan tidak akan menolak rekomendasi jaksa

Sanksi composition penal, misalnya pembekuan SIM, palarangan menggunakan kendaraan si pelaku selama jangka waktu tertentu atau melakukan pekerjaan tanpa diupah paling lama 50 jam (de Cavarlay, dalam Jehle &Wade,2006 :190-191).



Tidak mustahil Perancis akan diikuti oleh Jaksa di Kawasan Asia Pasifik, khususnya di Kamboja, mengingat KUHAP 2007 Kamboja didesain berorientasi ke model KUHAP Perancis 1958. Sedangkan model penal order Belanda, cepat atau lambat dimodifikasi oleh Kejaksaan di Indonesia.

Asas Legalitas.

Kebalikan “asas kebijaksanaan menurut” (asas oportunitas) adalah “asas kewajiban menurut” (mandatory prosedution). Di negara-negara yang menganut asas ini, jaksa akan menuntut setiap perkara ke pengadilan, Kejaksaan di Jerman, Austria, Italia, Portugal, Spanyol, dan Polandia menganut asas kewajiban menuntut. Namun belakangan ini para jaksa di Jerman, Austria, dan Polandia diperbolehkan mengesampingkan perkara beberapa kejahatan tertentu atau boleh menerapkan asas oportunitas secara terbatas.
Penghentian penuntutan dengan percobaan (pretrial probation) misalnya, dipastikan juga di Jerman (Fogel, 1988:161 dan 239) padahal jaksa Jerman menganut asas legalitas.

Selanjutnya menurut ketentuan Pasal-pasal 152, 153-153e, 154-154e HUKAP Jerman (Strafprozessordnung) Jaksa Jerman boleh tidak menuntut perkara apabila menurut pendapatnya “bobot kesalahannya ringan dan kepentingan umum tidak menghendaki dijalankannya penuntutan.” Perkara yang boleh dikesampingkan di Jerman meliputi perkara membobol rumah untuk melakukan kejahatan, perkara white collar crime; dan pelecehan seksual sanpa kekerasan terhadap anak di bawah umur (Horstkotte, UNEFEI Report, 1980).

DI Amerika dan Inggris

Jaksa di Amerika dan Inggris dan negara-negara yang bertradisi common law system dan anglo-american law system tidak mengenal istilah asas oportunitas. Walaupun begitu mereka menjalankan asas tersebut dengan istilah discretionary prosecution atau expediency principle. Terutama para jaksa di Amerika Serikat (District Attorney dan US Attorney) paling dominan sewaktu menjalankan wewenang diskresinya pada setiap tahapan proses pidana.

Dalam setiap waktu, mereka bisa menghentikan penuntutan. Para jaksa boleh menawarkan jumlah dakwaan. Kalau tadinya ada lima dakwaan, misalnya lalu dikurangi menjadi dua dakwaan saja. Atau tadinya dakwaannya berat, karena terdakwa mau mengaku, maka jaksa mau menggantinya dengan dakwaan yang bersanksi lebih ringan.

Bernegosiasi semacam itu dikenal sebagai plea bargaining, dan sudah dipraktikan sejak lama (Weston dan Wells,1973:79-80;LeGrande,1973:73-74;Romli Atmasasmita,1980:69-89), Dengan sedikit modifikasi, negosiasi seperti itu dilakukan juga oleh jaksa Singapura (Pereira, UNAFEI Report, 1982).

Kejaksaan Inggris (Crown Prosecution Service), yang baru dibentuk di tahun 1986, boleh menghentikan penuntutan karena alasan kebijakan, kalau tindak pidananya biasa-biasa saja, pelakukanya sudah tua, atau masih remaja. Tentu saja jaksa Inggris harus menghentikan penuntutan karena alasan teknis, semisal bukti dan saksinya tidak memadai, atau peristiwanya sudah sangat basi (wood, Asian Journal, 1990.




Jaksa Agung Inggris boleh menghentikan perkara yang sudah masuk pengadilan, melalui upaya hukum nolle prosequi, istilah latin ini berarti” tidak akan menuntut”,Caranya Jaksa Agung memberitahu pengadilan, bahwa dirinya tidak akan menuntut  perkara tersebut (Karlen, Sawer, and Wise, 1967).

Kewenangn Jaksa Agung Inggris tersebut diikuti oleh  negara-negara bertradisi common law system di seluruh dunia, termasuk di kawasan Asia Pasifik. Akan tetapi adakalanya, istlah nolle  prosequi sendiri tidak digunakan, (lihat misalnya, KUHAP Singapura, Malaysia dan Myanmar).

Pengwasan

Mengingat asas oportunitas bisa menimbulkan kesewenang-wenangan (arbitrary), diupayakan pelbagai cara pengawasannya. Dalam hal ini pedoman diskresi penuntutan itu harus sangat penting diadakan, akan tetapi harus seimbang dengan kedudukan jaksa yang dominan. Pedoman yang tidak lentur, terlalu rigid, akan mengurangi makna dan manfaat diskresi dan ini adalah “kebebasan menerobos aturan” dan dilakukan tidak keluar dari “ aturan bernalar dan aturan keadilan”Wilcox,1972:116).

Pencegahan lain, misalnya dilakukan pengawasan oleh kejaksaan yang lebih tinggi. Dalam hubungan ini di RR Tingkok, Korea Selatan, Filipina, dan Thailand, keputusan Jaksa Agung untuk menuntut, dapat minta dibatalkan kepada kejaksaan yang lebih tinggi, baik oleh korban kejahatan maupun oleh penyidik. Terutama standar etika merupakan benteng terakhir bagi para jaksa sewaktu menjalankan kekuasaan diskresinya yang besar itu.

Diskresi Jaksa di Kawasan Asia Pasifik

Diskresi Jaksa Beberapa Negara di Kawasan Asia Pasifik.
Dalam literature hukum Bahasa Indonesia, istilah diskresi belum lama dipahami. Sebelumnya lebih dikenal istilah freies ermmesen, dari bahasa Jerman, melalui hukum tata usaha negara (bestuursrecht) di negeri Belanda. Sedangkan di Perancis dikenal sebagai pouvoir discretionnaire.

Asia Pasifik


Bambang Waluyo (Waluyo,et al,2000:8-9), dari hasil penelitiannya, memberikan makna diskresi sebagai berikut.
•    “Kebijaksanaan atas dasar pertimbangan keadilan semata-mata dengan tidak terkait kepada ketentuan undang-undang,”dalam kamus (Soebekti, 1980);
•    Ability to choose wisely or to judge for oneself atau “kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri.”Dalam kamus (Burrow, 1966);
•    The freedom to break the rules (but it is) done within the rules of reasons and justice atau “kebebasan menerobos aturan {namun] dilakukan dengan tidak keluar dari ‘aturan bernalar dan aturan keadilan.’” (Wilcox, 1972:112 dalam Surachman, 1996:76).

Dihubungkan dengan system penuntutan, praktik (de facto) menunjukkan, bahwa tidak jarang jaksa atau penuntut umum melakukan diskresi penuntutan, umpamanya dengan jalan menerapkan penangguhan penuntutan sementara penangguhan penuntutan parmanen, yang di Indonesia dipahami sebagai mengesampingkan perkara demi kepentingan hukum (public interst drop).

Harus diperhatikan bahwa penghentian penuntutan atau simple drop, sesungguhnya bukan merupakan diskresi. Simple drop, adalah penghentian penuntutan karena alasan teknis, umpamanya kurang cukup bukti, atau alasan pemaaf, atau perkaranya sudah ne bis in idem, atau dalam hal tersangka atau terdakwanya meninggal dunia. Singkatnya penuntutan dihentikan demi hukum.

Diskresi Jaksa Beberapa Negara di Kawasan Asia Pasifik.
Dalam literature hukum Bahasa Indonesia, istilah diskresi belum lama dipahami. Sebelumnya lebih dikenal istilah freies ermmesen, dari bahasa Jerman, melalui hukum tata usaha negara (bestuursrecht) di negeri Belanda. Sedangkan di Perancis dikenal sebagai pouvoir discretionnaire.

Bambang Waluyo (Waluyo,et al,2000:8-9), dari hasil penelitiannya, memberikan makna diskresi sebagai berikut.
•    “Kebijaksanaan atas dasar pertimbangan keadilan semata-mata dengan tidak terkait kepada ketentuan undang-undang,”dalam kamus (Soebekti, 1980);
•    Ability to choose wisely or to judge for oneself atau “kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri.”Dalam kamus (Burrow, 1966);
•    The freedom to break the rules (but it is) done within the rules of reasons and justice atau “kebebasan menerobos aturan {namun] dilakukan dengan tidak keluar dari ‘aturan bernalar dan aturan keadilan.’” (Wilcox, 1972:112 dalam Surachman, 1996:76).

Dihubungkan dengan system penuntutan, praktik (de facto) menunjukkan, bahwa tidak jarang jaksa atau penuntut umum melakukan diskresi penuntutan, umpamanya dengan jalan menerapkan penangguhan penuntutan sementara penangguhan penuntutan parmanen, yang di Indonesia dipahami sebagai mengesampingkan perkara demi kepentingan hukum (public interst drop).

Harus diperhatikan bahwa penghentian penuntutan atau simple drop, sesungguhnya bukan merupakan diskresi. Simple drop, adalah penghentian penuntutan karena alasan teknis, umpamanya kurang cukup bukti, atau alasan pemaaf, atau perkaranya sudah ne bis in idem, atau dalam hal tersangka atau terdakwanya meninggal dunia. Singkatnya penuntutan dihentikan demi hukum.

Asas Kebijaksanaan Penuntutan
Para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dan juga pejabat lembaga pemasyarakatan, dalam situasi tertentu masing-masing diberi keleluasaan bertindak berdasarkan  diskresi (discresitio) atau kebijaksanaan. Selain tentu saja mereka wajib mematuhi kebijakan (policy) yang dikeluarkan oleh pimpinannya.

Umpamanya, seorang petugas polisi tidak memproses seorang yang melakukan pencurian tiga buah kakao milik perkebunan besar. Di sini poliisi melakukan diskresi polisi, yakni hanya memberikan peringatan saja, mengingat tersangkanya sudah lanjut usia, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf.

Contoh lain, Secara universal hakim mempunyai diskresi yang sangat longgar dalam menentukan lama pidana atau besar denda yang dijatuhkan, asal saja ia tidak melanggar maksimum dan minimum pidana atau maksimum dan minimum denda yang ditentukan oleh undang-undang. Misalnya dalam kasus pencurian kakao di atas, polisi tetap memberkas perkara dan mengajukannya ke sidang pengadilan dan juga lolos dari saringan jaksa, namun mengingat tersangkanya sudah lanjut umur, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf, hakim ternyata menjatuhkan pidana denda, atau menjatuhkan pidana kurungan selama 7 hari dengan tidak usa dilaksanakan, kalau syarat-syaratnya dipenuhi.

Dalam bahasa sehari-hari, tindakan hakim tersebut adalah menjatuhkan pidana percobaan, Bahkan teoritikal, hakim di Indonesia pun boleh menjatuhkan denda percobaan. Akan tetapi dngan jenis pidana demikian, uang denda harus dilunasi terlebih dahulu, dan kalau masa percobaan sudah dilewati, terpidana dapat meminta uang tersebut dikembalikan kepadanya.

Di Malaysia, Singapura, dan Brunei  mengenai tindak pidana narkotika tertentu, hakim tidak memiliki diskresi sama sekali, karena kalau terdakwa terbukti bersalah, hakim wajib menjatuhkan pidana mati (mandatory death sentence), tanpa alternative pemidanaan lainnya. Satu-satunya cara terpidana lolos dari jerat tali gantungannya, hanya kalau Kepala Negara berkenan memberikan  pardon, semacam grasi.

Mengenai diskresi pejabat lembaga pemasyarakatan, dapat terjadi setiap kali pejabat tersebut menimbang-nimbang berapa besaran masa pengurangan pidana (remisi) yang harus diberikan kepada seorang narapidana, dengan mengingat hasil penilaian perilaku napi yang bersangkutan selama menjalani “binaan” di lapas yang bersangkutan.

Sepetrti disinggu di muka, diskresi yang dilakukan oleh jaksa (diskresi penuntutan) bisa terjadi dalam hal jaksa memutuskan suatu penangguhan penuntutan dengan satu atau beberapa ketentuan, umpamanya tersangkanya bukan residivis dan sudah berumur lanjut (di Jepang dan Belanda, berumur 70 tahun ke atas) atau sebaliknya, umur tersangka terlalu muda (berumur kurang dari 12 tahun.

Di Inggris (England & Wales), polisi sudah selama tiga dekade melakukan praktik memberi peringatan (caution) terhadap pelaku tindak pidana yang tidak terlalu penting. Namun sejak Kejaksaan England &Wales (Crown Prosecution Service/CPS) dibentuk dalam tahun 1986, tindakan polisi semacam itu harus sepengetahuan jaksa (Crown Prosecution) atau atas permintaan jaksa atau bahkan harus dilakukan bersama jaksa (Jehle, Smit, Zila, European Journal on Criminal Policy and Research, XIV,2-3,2008:197).

Diskresi penuntutan yang lain, umpamanya dalam hal jaksa hanya menuntut dengan satu pasal yang berisi ancaman pidana yang lebih rendah dari pasal-pasal lainnya. Padahal dalam surat dakwaannya, untuk kasus yang bersangkutan dia dapat menuntut lebih dari satu pasal (baik tuntutan alternative maupun tuntutan komulatif atau dalam bahasa media sosial dikenal sebagai tuntutan berlapis).

Tindakan sebaliknya pun  sangat dimungkinkan, Dalam kasus serupa, jaksa hanya menuntut dengan pasal yang paling berat ancaman pidananya, serta tidak  menuntut pasal-pasal yang ancaman pidananya lebih ringan.

Dari contoh-contoh dimuka, tampak sekali, bahwa jaksa adalah dominus litis atau seorang penguasa perkara (master of the procedure). Dikatakan juga jaksa merupakan penyaring utama perkara-perkara yang diterima dari penyidik manapun. Sebenarnya, secara universal, wewenang tersebut atau the power to prosecute berada di tangan jaksa.

Jaksa tidak sepatutnya menjelma sebagai “robot”, tetapi bekerja secara professional, penuh pertimbangan dan bijaksana dengan tetap bergerak sepanjang koridor objektivitasnya. Menurut mereka yang disangka bersalah, jaksa menjalankan hak mutlaknya, yaitu hak untuk menentukan menuntut atau tidak menuntut tersangka namun dengan berpegang teguh pada prinsip praduga tidak bersalah  atau prinsip presumption innocentiae dan prinsip in dubio  pro reo. Dengan demikian, jaksa mampoun menjaga jangan sampai seseorang dijatuhi pidana untuk tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya.

Memang di banyak negara, termasuk di Kawasan Asia Pasifik jaksa itu berperan ganda: sebagai penyelenggara atau administrator bertindak seperti setengah hakim atau semi judge, yakni berkuasa sebagai hakim semu atau quasi judicial authority (Douglass, 1977) dan Fisher (Prosecutor, 1989).

Sebagai prosecutor dan administrator, jaksa bertugas selaku penuntut umum, yakni menuntut perkara dengan tujuan menghasilkan penjatuhan pidana dari pengadilan sebanyak mungkin dan seberat mungkin. Namun dalam statusnya sebagai semi judge atau quasi judicial officer, jaksa berfungsi seperti seorang “menteri kehakiman”, yaitu melindungi yang tidak bersalah, mempertimbangkan hak-hak tersangka, dan mencegah terjadinya penuntutan atas dasar balas dendam (malice prosecution). Itulah sebabnya, jaksa diberi wewenang menghentikan proses perkara, baik karena alasan teknis (menghentikan penuntutan atau simple drop), maupun karena alasan kepentingan umum (mengesampingkan perkara atau public interest drop).

Para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dan juga pejabat lembaga pemasyarakatan, dalam situasi tertentu masing-masing diberi keleluasaan bertindak berdasarkan  diskresi (discresitio) atau kebijaksanaan. Selain tentu saja mereka wajib mematuhi kebijakan (policy) yang dikeluarkan oleh pimpinannya.

Umpamanya, seorang petugas polisi tidak memproses seorang yang melakukan pencurian tiga buah kakao milik perkebunan besar. Di sini poliisi melakukan diskresi polisi, yakni hanya memberikan peringatan saja, mengingat tersangkanya sudah lanjut usia, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf.

Contoh lain, Secara universal hakim mempunyai diskresi yang sangat longgar dalam menentukan lama pidana atau besar denda yang dijatuhkan, asal saja ia tidak melanggar maksimum dan minimum pidana atau maksimum dan minimum denda yang ditentukan oleh undang-undang. Misalnya dalam kasus pencurian kakao di atas, polisi tetap memberkas perkara dan mengajukannya ke sidang pengadilan dan juga lolos dari saringan jaksa, namun mengingat tersangkanya sudah lanjut umur, belum pernah dihukum, dan sudah meminta maaf, hakim ternyata menjatuhkan pidana denda, atau menjatuhkan pidana kurungan selama 7 hari dengan tidak usa dilaksanakan, kalau syarat-syaratnya dipenuhi.

Dalam bahasa sehari-hari, tindakan hakim tersebut adalah menjatuhkan pidana percobaan, Bahkan teoritikal, hakim di Indonesia pun boleh menjatuhkan denda percobaan. Akan tetapi dngan jenis pidana demikian, uang denda harus dilunasi terlebih dahulu, dan kalau masa percobaan sudah dilewati, terpidana dapat meminta uang tersebut dikembalikan kepadanya.

Di Malaysia, Singapura, dan Brunei  mengenai tindak pidana narkotika tertentu, hakim tidak memiliki diskresi sama sekali, karena kalau terdakwa terbukti bersalah, hakim wajib menjatuhkan pidana mati (mandatory death sentence), tanpa alternative pemidanaan lainnya. Satu-satunya cara terpidana lolos dari jerat tali gantungannya, hanya kalau Kepala Negara berkenan memberikan  pardon, semacam grasi.

Mengenai diskresi pejabat lembaga pemasyarakatan, dapat terjadi setiap kali pejabat tersebut menimbang-nimbang berapa besaran masa pengurangan pidana (remisi) yang harus diberikan kepada seorang narapidana, dengan mengingat hasil penilaian perilaku napi yang bersangkutan selama menjalani “binaan” di lapas yang bersangkutan.

Sepetrti disinggu di muka, diskresi yang dilakukan oleh jaksa (diskresi penuntutan) bisa terjadi dalam hal jaksa memutuskan suatu penangguhan penuntutan dengan satu atau beberapa ketentuan, umpamanya tersangkanya bukan residivis dan sudah berumur lanjut (di Jepang dan Belanda, berumur 70 tahun ke atas) atau sebaliknya, umur tersangka terlalu muda (berumur kurang dari 12 tahun.

Di Inggris (England & Wales), polisi sudah selama tiga dekade melakukan praktik memberi peringatan (caution) terhadap pelaku tindak pidana yang tidak terlalu penting. Namun sejak Kejaksaan England &Wales (Crown Prosecution Service/CPS) dibentuk dalam tahun 1986, tindakan polisi semacam itu harus sepengetahuan jaksa (Crown Prosecution) atau atas permintaan jaksa atau bahkan harus dilakukan bersama jaksa (Jehle, Smit, Zila, European Journal on Criminal Policy and Research, XIV,2-3,2008:197).

Diskresi penuntutan yang lain, umpamanya dalam hal jaksa hanya menuntut dengan satu pasal yang berisi ancaman pidana yang lebih rendah dari pasal-pasal lainnya. Padahal dalam surat dakwaannya, untuk kasus yang bersangkutan dia dapat menuntut lebih dari satu pasal (baik tuntutan alternative maupun tuntutan komulatif atau dalam bahasa media sosial dikenal sebagai tuntutan berlapis).

Tindakan sebaliknya pun  sangat dimungkinkan, Dalam kasus serupa, jaksa hanya menuntut dengan pasal yang paling berat ancaman pidananya, serta tidak  menuntut pasal-pasal yang ancaman pidananya lebih ringan.

Dari contoh-contoh dimuka, tampak sekali, bahwa jaksa adalah dominus litis atau seorang penguasa perkara (master of the procedure). Dikatakan juga jaksa merupakan penyaring utama perkara-perkara yang diterima dari penyidik manapun. Sebenarnya, secara universal, wewenang tersebut atau the power to prosecute berada di tangan jaksa.

Jaksa tidak sepatutnya menjelma sebagai “robot”, tetapi bekerja secara professional, penuh pertimbangan dan bijaksana dengan tetap bergerak sepanjang koridor objektivitasnya. Menurut mereka yang disangka bersalah, jaksa menjalankan hak mutlaknya, yaitu hak untuk menentukan menuntut atau tidak menuntut tersangka namun dengan berpegang teguh pada prinsip praduga tidak bersalah  atau prinsip presumption innocentiae dan prinsip in dubio  pro reo. Dengan demikian, jaksa mampoun menjaga jangan sampai seseorang dijatuhi pidana untuk tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya.

Memang di banyak negara, termasuk di Kawasan Asia Pasifik jaksa itu berperan ganda: sebagai penyelenggara atau administrator bertindak seperti setengah hakim atau semi judge, yakni berkuasa sebagai hakim semu atau quasi judicial authority (Douglass, 1977) dan Fisher (Prosecutor, 1989).

Sebagai prosecutor dan administrator, jaksa bertugas selaku penuntut umum, yakni menuntut perkara dengan tujuan menghasilkan penjatuhan pidana dari pengadilan sebanyak mungkin dan seberat mungkin. Namun dalam statusnya sebagai semi judge atau quasi judicial officer, jaksa berfungsi seperti seorang “menteri kehakiman”, yaitu melindungi yang tidak bersalah, mempertimbangkan hak-hak tersangka, dan mencegah terjadinya penuntutan atas dasar balas dendam (malice prosecution). Itulah sebabnya, jaksa diberi wewenang menghentikan proses perkara, baik karena alasan teknis (menghentikan penuntutan atau simple drop), maupun karena alasan kepentingan umum (mengesampingkan perkara atau public interest drop).

Peran Jaksa Dalam Sstem Peradilan Pidana di Kawasan Asia Pasifik

Peran Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana di Kawasan Asia Pasifik
Sistem Hukum Negara-Negara di Kawasan Asia Pasifik.
Sulit untuk dibantah, diantara negara-negara di Kawasan Asia Pasifik terdapat perbedaan dalam sistem hukum, sistem pemerintahan, dan ideology negara. Meskipun begitu, realisasi kerja sama hukum di antara negara-negara tersebut bukan sesuatu yang mustahil.

Dari sisi system hukumnya, negara-negara di Kawasan Asia Pasifik dapat dikelompokan ke dalam tiga rumpun yaitu :
Peta ASia Pasifik

Pertama, negara-negara bertradisi hukum anglo-saxson atau common law (bersistem hukum Sakson-Inggris), termasuk sempalannya bertradisi hukum Anglo-American (bersistem hukum Amerika-Inggris). Dalam rumpun ini terdapat Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, Uni Myanmar, Papua Nugini, Australia, New Zeland, Fiji, Kiribati, Micronesia, Nauru, Samoa, tonga, Tuvalu dan Vanuatu.

Kedua, negara-negara bertradisi civil law system atau continental system (bersistem hukum Eropa daratan).  Dalam rumpun ini terdapat Jepang, Korea Selatan, Thailand, Kamboja, Taiwan, Timor Leste dan Indonesia.

Ketiga, negara-negara bertradisi socialist legality (bersistem hukum social). Sebenarnya system hukum social merupakan sempalan dari sivil law system atau kontinetal system. Dalam rumpun ini terdapat Republik Rakyat Tiongkok, Korea Utara, Vietnam, dan Laos.

Sementara itu hukum perbandingan sebagai ilmu menggunakan beberapa kriteria untuk dapat memilah-milah, kemudian mengelompokan negara-negara tertentu dimasukkan ke dalam system hukum tertentu. Di antara tolok ukurnya adalah latar belakang sejarah hukumnya, metode kerja para ahli hukumnya, sifat-sifat khusus konsep hukumnya, sumber, dan pembagian hukumnya (Glendon, Gordon, and Osaka, 1982:4-5;David and Brierley, 1978:19-20).

Judge Made Law.
Dari perspektif sejarah hukum, masing-masing system hukum memiliki tradisinya sendiri. Sistem hukum Sakson-Inggris berawal sewatu Inggris dikalahkan oleh bangsa Normandia di sekitar abad ke-11. Selanjutnya Raja William, sang pemenang, membentuk pemerintahan yang berpusat, dengan dilengkapi system peradilan nasional. Sebelumnya terdapat berbagai system peradilan local, seperti beberapa paradilan para Baron Tuan Tanah, bagi masing-masing yuridiksi yang bersifat local.

Mulai saat itu, system peradilan  yang dibentuk oleh pada Baron terus menyusut kekuasaannya, tidak lagi berwenang mengadili perkara besar, karena perkara semacam itu harus diadili oleh pengadilan kerajaan (royak court). Sistem demikian dianggap lebih menjamin terwujudnya keadilan. Dengan kata lain, wewenang pengadilan-pengadilan local menjadi terbatas pada perkara-perkara kecil yang bersifat setempat berkala. …………..

Adapun yang dimaksud dengan Mommon law adalah hukum yang berumber pada hukum adat atau hukum kebiasaan. Disebut common law karena hukum adat atau hukum kebiasaan dimaksud menjadi berlaku nasional, bahkan menjadi lawan dari hukum kebiasaan setempat. Hukum kebiasaan yang asalnya tidak tertulis, kemudian dijadikan dasar dalam putusan-putusan hakim, berubah menjadi case lauw atau yurisprudensi,’yang diikuti atau dipedomani oleh para hakim dalam putusan-putusan yang berikutnya. Hukum yang semula bersifat setempat pun berubah menjadi hukum yang bersifat nasional.

Dari proses seperti itulah lahir istilah judge made law yang berarti hukum buatan hakim, untuk membedakan dari hukum buatan  para legislators (anggota-anggota parlemen) yang berbentuk undang-undang parlement (parliament act).

Di Indonesia. Istilah hukum buatan hakim (Judge made law) dengan salah kaprah kerap diterjemahkan atau dimaknai sebagai “hakim pembuat hukum”. Sekaligus hakikatnya tidak keliru, bahwa sebagian ketentuan hukum dalam system hukum Sakson-Inggris dan system hukum Amerika-Inggris dibuat oleh hakim melalui putusan-putusannya.

Selanjutnya melalui asas stare decisis, putusan-putusan hakim harus diikuti oleh para hakim lain, utamanya oleh pengadilan-pengadilan yang lebih rendah. Artinya harfiah asas dimaksud adalah “berdiri di atas apa yang telah diputuskan”. Intinya hukum ditegakkan berdasarklan putusan-putusan hakim terdahulu, sehingga mudah diprediksi. Dalam kasus-kasus serupa putusan hakim akan mengikuti preseden (prescedent) atau pola sebelummya.

Tepatnya judge made law harus diterjemahkan sebagai “hukum buatan hakim”. Tidak berbeda dengan istilah home made ice cream, yakni ekstrim “buatan sendiri”. Atau ekstrim yang dibuat di rumah-rumah, bukan yang diproduksi di pabrik-pabrik.

Selama satu dekade, common law dan hukum Amerika-Inggris (anglo-american law) terbentuk seperti apa yang biasa dibaca sampai hari ini. Sudah dikemukakan tadi. Berdasarkan asas stare decisis, maka semua hakim diwajibkan mengikuti hukum buatan hakim yang terdahulu.

 Intinya adalah bahwa bagi kasus yang sama harus diberi putusan yang sama. Penyimpangan dimungkinkan, hanya dalam hal hakim berikutnya dapat mengajukan argument yang sangat kuat, kasus yang dihadapinya mengandung fakta yang berbeda, sehingga penerapan hukunya pun harus berbeda. Begitulah, dalam sistem berasaskan stare decicis hakim yang lebih rendah terikat oleh putusan hakim yang lebih tinggi. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata penerapan asas dimaksud agak berbeda-beda di antara negara-negara yang bersistem hukum Sakson-Inggris dan hukum Amerika-Inggris.

Demam Kodifikasi.
Sejarah hukum Eropa daratan atau civil law sistem lebih tua daripada common law sistem, karena sistem hukum Eropa daratan berakar pada hukum Romawi yang dianggap bermula sejak abad ke-5 SM.
Sejarah Eropa menunjukkan, hampir semua wilayah benua biru itu pernah mendapat serbuan Bala Tentara Romawi dan selanjutnya diposisikan sebagai domein kekuasaannya.

Akibatnya hampir semua kerajaan dan yuridiksi di era tersebut memahami Hukum Romawi. Bahkan pada akhirnya semua kerajaan  dan yuridiksi di Eropa menerima hukum Romawi sebagai hukum yang berlaku di wilayah masing-masing. Sekalipun kekuasaan Kekaisaran Romawi kemudian menyusut. Hukum Romawi dapat terus bertahan. Utamanya sebagai ilmu hukum. Lagi pula hal terjadinya resesi hukum dimaksud, disebabkan oleh status bahasa latin yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan selama era tersebut.

Dalam sejarah tercatat, bahwa dari waktu ke waktu, hukum Amerika-Inggris dipupuk serta ditumbuhkan oleh pada hakim. Sebaliknya, hukum eropa daratan dipupuk serta ditumbuhkan oleh para juri  terdepan, terutama mereka yang mengajar di beberapa universitas. Satu diantara tempat pemupukan hukum dimaksud adalah Universitas Bologna, sebagai pusat pembinaan ilmu hukum yang sudah ternama untuk lamannya. Sebenarnya di era yang sama, beberapa universitas di luar Italia pun tidak mengajarkan baik hukum nasional, maupun hukum setempat.  Boleh dikatakan, para mahasiswa hukum di eropa daratan hanya dibekali hukum romawi dengan teori-teori dan asas-asasnya yang terus dikembangkan oleh para pembinanya.

Dalam perjalanan waktu, teori-teori hukum beserta asas-asasnya semakin meluas, sehingga negara-negara di Eropa daratan mengalami “ demam kodifikasi” (Glendon, Gordon, and Osakwe, 1982:30-32). Di samping itu, era renaissance atau era pencerahan telah merangsang para akademisi untuk membebaskan diri dari pengaruh yang berada di luar jangkauan pikiran, Akhirnya terjadilah penelusuran atas khazanah hukum klasik yang bersifat rasional dan logis, ialah hukum Romawi yang sudah lama dipahaminya. Lagi pula, di zaman Romawi pun sudah terdapat kodifikasi terkenal. Budaya hukum itu dilestarikan dan dimodernisasi oleh para yuris terdepan di abad ke-19.

Jumat, 05 Februari 2016

Kejaksaan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia di Fiji


Kejaksaan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di Fiji
Kejaksaan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia di Fiji

DI Fiji, keputusan jaksa memberi dampak yang signifikan terhadap sistem penyelenggaraan peradilan pidana. Efektifitas keputsan jaksa dipertaruhkan dan efektifikatas jaksa menjadi kepercayaan mayarakat terhadap penyelenggaraan peradilan pidana (administration of criminal) dapat dipertahankan.

Kejaksaan Fiji (the of DPP), dibentuk berdasarkan UU Kemerdekaan Tahun 1970 dan kekuasaan kejaksaan Fiji dimasukan ke dalam UUD tahun 1990 dan kemudian ke dalam UUD 1997 yang menggantikannya. Kejaksaan Fiji sangat independen,, bertanggung jawab kepada rakyat Fiji, bukan kepada Pemerintah.

Tuggas jaksa adalah melakukan penuntutan di semua tingkat pengadilan, dan juga hadir di pengadilan banding maupun di Mahkamah Agung  pada waktu sidang banding dan Mahkamah Agung Fiji bukan   kasasi, melainkan banding, yaitu banding tingkat kedua. Artinya MA tidak hanya mempertimbangkan hukum, tetapi juga faktanya.

Di Fiji permohonan untuk melakukan penangkapan dan penahanan dari polisi diajukan kepada pengadilan melalui jaksa setelah jaksa yang bersangkutan meneliti pembuktian yang telah diperoleh polisi.

Sistem common law, orang yang ditahan sambil menunggu sidang pengadilan (pre trial detention), pada prinsipnya diberikan hak dimerdekakan dari tahanan dengan jaminan (bail) berupa uang atau orang, namun terdapat kekecualian dimana seorang tahanan tidak dapat dimerdekakan maka jaksalah yang memutuskan seseorang dapat dimerdekakan atau harus terus ditahan sambil menunggu persidangan.

Kriteria apakah boleh dimerdekakan dengan jaminan (bail) atau tetap ditahan terus, tersangka dikhawatirkan akan menjadi buronan atau akan mempengaruhi saksi dan menghilangkan alat bukti lainnya atau melakukan tindak pidana lagi. Di Fiji syarat-syarat tersebut dipertiumbangkan pada waktu akan menentukan sesorang dimerdekakan dari tahanan dengan jaminan.

Jaksa di Fiji tidak berwenang melakukan penyidikan dan hanya memberikan nasihat kepada polisi dan isntansi-instansi publik lainnya yang diberi wewenang penyidikan tentang apakah pembuktian perkara yang disidik cukup memadai.

Dakwaan jaksa yang sah harus berisi penjelasan tentang tindak pidana yang dilanggar dengan merujuk pasal-pasal yang disangkakan dilengkapi dengan identitas terdakwa, locus delicti dan tempus delictinya, dokumen-dokumen yang ada dan identitas korban, setelah dakwaan disusun maka perkara diserahkan ke pengadilan.

Jaksa harus menjaga agar dakwaannya tidak cacat hukum karena sekalipun pengadilan tingkat pertama menjatuhkan pidana berdasarkan dakwaan yang cacat tesebut, perkaranya akan fatal dan kandas di Pengadilan Banding.

Setiap keputusan Jaksa tidak boleh diambil asal praktis dan atau asal menyenangkan keinginan diri sendiri atau keinginan siapapun karena sikap adil (fairness) dan sikap tidak berpihak (impartiality) harus menjadi utama keputusan jaksa.

Jaksa Dalam Sistem Adversarial di Singapura

Jaksa Dalam Sistem Adversarial di Singapura

Pengadilan Singapura.

Pengadilan Singapura terdiri dari dua macam yaitu Pengadilan Rendah (subordinate courts) dan Mahkamah Agung Supreme Court)

Pengadilan Rendah, 95 % perkara yang masuk di pengadilan oleh pengadilan rendah yang terdiri dari pengadilan Magistrat dan Pengadilan Distrik. Pengadilan Magistrat umumnya mengadili perkara-perkara ringan yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau diancam dengan pidana denda saja, akan tetapi pengadilan tidak berwenang menjatuhkan pidana penjara lebih dari 2 tahun, pidana cambuk lehih  dari 6 cambukan dan pidana denda lebih dari 2.000 Dolar Singapura.

Sedangkan Pengdilan Distrik umumnya mengadili perkara-perkara yang diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 10 tahun atau diancam dengan pidana denda saja, akan tetapi pengadilan Distrik tidak berwenang menjatuhkan pidana penjara lebih dari 7 tahun, pidana cambuk lebih dari 10 cambukan dan pidana denda lebih dari 10.000 Dolar Singapura.

Kecuali dalam mengadili tindak pidana narkotika dan psikotropika yang diatur dalam misused of Drug Act, pengadilan Distrik boleh menjatuhkan pidana melewati batas maksimal kewenangannya.

Mahkamah Agung Singapura (Supreme Court), Mahkamah Agung Singapura terdiri dari Pengadilan Tinggi (High Court) dan Pengadilan Banding (Court of Appeal). High Court berwenang mengadili semua tindak pidana. Hanya High Court dan Court of Appeal yang berwenang menjatuhkan pidana seumur hidup dan pidana mati.

Oleh karena itu dalam hal diancam seumur hidup dan pidana mati, perkara tindak pidana narkotika tidak akan diadili di Pengadilan Distrik.

Para hakim baik pengadilan rendahan maupun pengadilan yang lebi tinggi harus memiliki keahlian hukum, kriterianya untuk hakim Pengadilan Magistrat paling sedikit harus berpengalaman satu tahun sebagai ahli hukum sedangkan hakim Pengadilan Distrik  paling sedikit berpengalaman selama 5 tahun dan untuk hakim pengadilan yang lebih tinggi (Mahkamah Agung) paling sedikit harus berpengalaman sepuluh tahun.

Hakim Agung Singapura hanya boleh diberhentikan oleh Presiden Singapura atas alasan tidak lagi mampu bertugas sebagai hakim (sakit rohani atau jasmani) atau karena melakukan perbuatan tercela yang tidak bisa dimaafkan.
Jaksa Dalam Sistem adversarial di Singapura


Sistem Proses Persidangan di Singapura

Persidangan disemua tingkat pengadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang akan menyampaikan penemuan fakta maupun hukum, mengucapkan vonis terdakwa terbukti bersalah atau tidak, baik untuk pemeriksaan perkara yang diancam pidana denda atau diancam pidana mati.

Tujuan pemeriksaan di pengadilan (trial) adalah untuk menentukan kebenaran obyektif mengenai fakta-fakta perkara didasarkan atas pembuktian yang diajukan oleh penuntut umum dan pembela, dengan mendalilkan versi masing-masing dengan pembuktian yang saling melemahkan.


Proses adversial telah memastikan kebenaran pembuktian melalui saling uji silang (cross-examination). Oleh karena itu  diperlukan pertimbangan yang sungguh-sungguh mengenai keabsahan pembuktian dalam perolehannya serta mengenai kendalanya, sehingga tidak menimbulkan keraguan.

Tujuan Pre-Trial Conference (PTC) atau sidang pendahuluan adalah mempermudah kedua belah pihak (penuntut umum dan pembela) dihadapan hakim sebelum sidang sesungguhnya (trial).

Bahwa hakim PTC bukan hakim yang akan menyidangkan perkara dalam tahap sesungguhnya nanti, alasannya agar hakim persidangan sesungguhnya tidak terpengaruh oleh prasangka yang diperoleh dalam siding PTC. Dalam pertentuan kedua belah pihak saling mengklarifikasi masalah-masalah yang disepakati dan tidak disepakati, sehingga dalam persidangan ssungguhnya nanti tidak akan dipersoalkan lagi, dan sidang PTC adalah sidang untuk membicarakan faktor waktu dan membuat penjadwalan persidangan sesungguhnya.

Sidang PTC memilih masalah procedural dan teknis, sehingga perkara siap disidangkan, sedangkan jaksa PTC akan memberitahukan kepada pembela pembuktian apa yang ia akan gunakan dan apa inti penuntutan perkara tersebut.

PTC dilaksanakan sebelum siaing di pengadilan rendahan, maupun sebelum sidang di pengadilan yang lebih tinggi (pengdilan Tinggi pada Mahkamah Agung). Perbedaannya di pengailan Distrik, PTC dipimpin oleh seorang hakim, sedangkan di pengadilan tinggi pada MA, PTC dipimpin oleh Panitera Muda Mahkamah Agung yang bertindak sebagai Hakim Pengadilan Distrik.

Sejak 2003, ditetapkan bahwa tenggang waktu sejak terdakwa dikenai dakwaan hingga sidang PTC adalah 8 minggu, dalam tenggang waktu tersebut jaksa dan pembela dapat melakukan plea bargaining (penuntut umum menawarkan bahwa kalau terdakwa mengaku bersalah, dakwaannya akan diturunkan ke dakwaan yang lebih ringan ancaman pidanannya. Sebaliknya pembela dapat mengusulkan hal tersebut dan hasil kesepakatan kemudian disampaikan kepada hakim.




Pembuktian di Persidang

Persidangan sesungguhnya (trial) diawali dengan jaksa penuntut (Deputy Public Prosecution) memanggil para saksi dari pihak jaksa kemudian menanyakan satu demi satu dan giliran jaksa ini disebut dengan  prosecution”s case dan diakhir giliran jaksa, hakim tunggal akan menanyakan, apakah perkara tersebut memenuhi syarat minimum untuk disidangkan (prima facie case) dan kalau dinyatakan demikian maka tibalah giliran pembelaan.


Giliran pembela ini dikenal sebagai defence”s case dimana pembela memanggil terdakwa untuk ditanyai, terdakwa yang selalu dipanggil dahulu boleh tetap bungkam, selanjutnya pembela memanggil saksi-saki dari pihak pembela, setelah giliran pembela berakhir, kedua belah pihak boleh menyampaikan kesimpulannya (submission) dimana pembela harus didahulukan. Demikian juga jika ada replik dan duplik. Istilah tersebut tidak dikenal di hukum acara Singapura dan mereka menyebut reply.

Akhirnya hakim mempertimbangkan pembuktian satu demi satu dan kemudian menjatuhkan vonis (verdict). Beban pembuktian (burden of proof) ada pada jaksa penuntut umum. Pembuktian jaksa harus menimbulkan keyakinan (beyond reasonable doubt) bagi hakim dan untuk menghasilkan aquital (pembebasan tidak bersalah) kliennya, pembela harus menimbulkan keraguan (ressonable doubt) atas pembuktian keterangan saksi-saksi pihak jaksa dan barang bukti yang diajukan oleh jaksa dengan mengajukan saksi-saksi tandingan dan barang bukti tandingan.

Dalam sistem tanding (adversial system) hasil proses persidangn, putusan hakim bukan mengenai kebenaran obyektif, melainkan atas kuat atau lemahnya pembuktian yang diajukan oleh masing-masing pihak.

Kejaksaan Negara Bagian Victoria dan Penuntutan yang efektif

Kejaksaan Negara Bagian Victoria dan Penuntutan yang efektif

Sistem Peradilan Pidana Australia.

Sistem hukum Australia berlandaskan sistem hukum Inggris yaitu sistem tanding (adversarial system) dimana hakim hanya mendengar dan memutuskan masalah-masalah yang dikemukakan oleh para pihak (jaksa dan pihak terdakwa).

Pemerintahan Australia berbentuk federal, oleh karena itu terdapat dualisme sistem hukum, yaitu sistem hukum  nasional (commonwealth laws) dan sistem hukum negara bagian (state laws), demikian juga terdapat dualisme pengadilan, yaitu pengadilan nasional (commonwealt couts) dan pengadilan negara bagian (state courts).

Di bidang pidana, pengadilan negara bagian mempunyai wewenang mengadili mayoritas tindak pidana termasuk kejahatan terhdap harta benda dan kejahatan terhadap orang, sedangkan pengadilan nasional hanya berwenang mengadili kejahatan-kejahatan tertentu saja misalnya perpajakan, penggelapan, dana jaminan social, impor illegal narkotika, dan tindak pidana yang dilakukan di wilayah nasional (Commonwealth territory).

Setiap negara bagian Australia mempunyai sistem hukum sendiri dan ada yang memiliki KUHP sendiri, akan tetapi beberapa negara bagian tidak mempunyai KUHP seperti Inggris, menerapkan common law yaitu hukum rakyat yang tidak tertulis namun sudah menjadi yurisprudensi, dan juga menetapkan hukum tertulis berupa perundang-undangan pidana negara bagian
Peran Jaksa di NSW Auatralia

Kejaksaan Victoria (Australia)

Kejaksaan Negara bagian Australia yaitu Victoria yang beroperasi atas  nama Direktur Jenderal Penuntutan (Director of Prosecutionn) merupakan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan uandang-undang dasar negara bagian.

Kejaksaan Victoria melaporkn hasil kerjanya ke DPR Negara Bagian melalui Jaksa Agung Negara Bagian Victoria. Kejaksaan Victoria dilengkapi dengan 100 karyawan dan 150 ahli hukum, setiap tahun Kejaksaan Victoria menuntut perkara sebanyak 500 perkara.

Pada sistem peradilan di Amerika dan Inggris, jika terdakwa mengaku, perkaranya tidak disidangkan lagi tetapi langsung dihadirkan kepada hakim dalam sidang pemidanaan dan serta merta saat itu juga dijatuhi pidana.

Negara bersistem Eropa continental termasuk Indonesia, sekalipun terdakwa mengaku, perkaranya tetap disidangkan dari awal (pembacaan surat dakwaan hingga pembacaan requisitor dan putusan.

Jaksa pada Kejaksaan Victoria menganalisis perkara yang diterima dari polisi dan juga memberi nasihat sewaktu polis imelakukan penyidikan. Jaksa yang menentukan apakah tuduhan dari polisi atau apakah perkara tersebut harus dihentikan penuntutannya, dan jaksalah yang bertanggung jawab untuk mengajukan perkara ke sidang pendahuluan (hearling) dimana pengadilan akan memeriksa apakah pembuktian dan saksi-saksinya cukup.

Jika semua persyaratan pembuktian sudah terpenuhi maka pengadilan pendahuluan akan menetapkan bahwa perkara tersebut akan disidangkan (trial).

Dalam perkara-perkara berat di depan juri yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum adalah pengacara khusus (specialist advocates) dikenal sebagai Crown Prosecutor yang artinya Jaksa Mahkota atau Jaksa Kerajaan.

Tahap Menuju Persidangan di Pengadilan Victoria
Prosedur persidangan di Pengadilan Victoria melalui beberapa tahap sebagai berikut :
  • Laporan diajukan kepada polisi.
  • Polisi menindak lanjuti dengan investigasi. Kejaksaan tidak terlibat langsung di tahap ini, tetapi hanya member nasihat-nasihat sebelum polisi menetapkan tuduhan.
  • Setelah polisi menetapkan tuduhan, barulah kejaksaan Victoria mengambil alih perkara tersebut dan dari saat itu kejaksaan meneliti apakah pembuktian perkara tersebut cukup untuk tuduhan tersebut dan apakah tuduhannya tepat sehingga tidak perlu diganti dengan tuduhan lain.
  • Perkara selanjutnya diajukan ke sidang pendahuluan (preliminary hearing) dimana hakim akan mameriksa apakah pembuktian dapat menghasilkan putusan bersalah dari juri jika perkara tersebut disidangkan nanti.
  • Sidang pendahuluan diselenggarakan oleh Pengadilan Magistrat (Magistrate Court), Sedangkan penelitian pembuktian pada umumnya hanya dengan meneliti keterangan saksi yang tertulis, kecuali jika pembela ingin menanyai saksi-saksi untuk diklarifikasi. Dan dalam tahap ini pula berat ringannya tindak pidana, magistrate akan menentukan ke pengadilan mana perkara ini akan diajukan ke pengadilan rendahan (Country Court) atau ke pengadilan yang lebih tinggi (Supreme Court). Supreme Court adalah pengadilan negara bagian, bukan dalam arti Mahkamah Agung. Di Australia Mahkamah Agung disebut High Court atau Pengadilan Tinggi dan tahap ini disebut committal proceedings, karena untuk menentukan pengadilan mana yang akan disidangkan perkara tersebut.
  • Setelah committal proceedings selesai, “ pertemuan pra peradilan” atau”pertemuan pra-persidangan: (pre trial conference) diselenggarakan oleh hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara tersebut dan lebih tepat disebut “pertemuan pra persidangan”, mengingat praperadilan” disini bukan pra-peradilan yang dikenal dalam acara pidana di Indonesia . Dan dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa pertemuan pra-peradilan ini adalah forum dimana hakim dapat menganjurkan masing-masing wakil hukum kedua belah pihak (penuntut umum dan pembela terdakwa) mengajukan permasalahan yang signifikan, sehingga persidangan perkara yang bersangkutan akan lancar dan dapat dipersidangkat waktunya.
  • Persidang utama atau sesungguhnya berlangsung dihadapan Juri (hakim awam atau non professional) dan dipimpin oleh seorang hakim (professional) berdasarkan tuduhan yang didakwakan oleh jaksa. Selanjutnya saksi dari kedua belah pihak diperiksa (setelah disumpah), dan saksi yang sudah diperiksa ulang (cross-examination) oleh pihak lawan.
  • Jika Juri memvonis (convict) terdakwa terbukti bersalah (quity) maka dalam persidangan khusus di waktu yang lain, hakim akan menjatuhkan pidana (sentence).
  • Terdakwa dapat mengajukan banding kepada pengadilan banding dan kemudian ke pengadilan tinggi. Dalam sistem hukum Inggris dan Amerika tidak dikenal kasasi, karena banding di pengadilan tinggi ini sering disebut sebagai banding tingkat kedua; sadangkan kasasi bukan banding tingkat kedua.

Hal-hal yang Berkaitan dengan Praktek Persidangan di Victoria Australia
Mayoritas tugas Kejaksaan Victoria adalah perkara-perkara yang disidangkan di pengadilan rendahan Country Courts), dan harus menunggu rata-rata 12 bulan untuk menunggu persidangan (trial) sejak perkara dalam sidang pendahuluan di pengadilan Magistrat ditetapkan di pengadilan mana akan disidangkan (tahap committal). Dalam hal terdakwa berada di luar tahanan dengan jaminan (on bail), dan waktu menunggu dapat memakan waktu lebih dari satu tahun.

Persidangan perkara berlangsung rata-rata 5-6 hari, hal ini disebabkan perundang-undangan maupun aturan beracara berubah serta semakin rumitnya perkara-perkara yang masuk ke pengadilan, ada kecederungan bahwa waktu akan menjadi lama lagi.

Sebanyak 70 % perkara langsung dipidana oleh hakim tanpa melalui proses persidangan, karena terdakwa mengaku bersalah (pleas of qulty). Sejumlah 60 % dari perkara-perkara yang disidangkan (Karena terdakwa tidak mengaku bersalah), mendapat “vonis” Juri”terbukti bersalah”.

Dalam sistem Australia, Inggris dan Amerika, hakim memutuskan masalah hukum, dan Juri memutuskan masalah fakta, artinya hakim mengawasi persiodangan agar berjalan secara adil (fair), sedangkan Juri memutuskan apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak (dengaa berpedoman pada penjelasan dan arahan hakim tentang unsur-unsur tindak pidana yang dituduhkan Jaksa. Peradilan dengan Juri hanya diselenggarakan di pengadilan yang lebih tinggi (higher courts), tidak di pengadilan-pengadilan rendahan (country courts).

Persidangan di pengadilan Australia menganut adver serial system, dimana hakim bertindak seperti seorang “wasit permainan tenis” dan hanya sekali-sekali saja ia bicara dalam penentuan sesuatu prosedur, kalau terlalu mencapuri persidangan perkara dapat diajukan banding oleh pihak terdakwa dan dapat menjadi alasan kuat untuk dilakukan persidangan ulang perkara tersebut.

Hakim-hakim di Australia diangkat dari pengacara kawakan yang teruji integritas dan pengalamannya. Sekalipun mereka diangkat oleh pihak eksekutif, dapat mempertahankan sikapnya yang tidak memihak dan independen, karena mereka diangkat untuk seumur hidup (for life).

Para anggota Juri adalah orang awam hukum, dipilih oleh warga masyarakat yang berhak memilih dalam pemilihan umum. Para ahli hukum dan sarjana hukum tidak boleh dipilih menjadi anggota Juri.


Sistem yang Berhasil
Bagaimana sekumpulan orang awam  (Juri) yang tanpa pendidikan hukum menentukan seseorang terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Demikian juga dari sudut orang Autralia  yang menerapkan sistem inkuisitor, sidang pengadilan yang menggunakan adversarial system  dan mengandung beberapa kelemahan. Misalnya hasil persidangan  tergantung dari ketrampilan dan pengalaman para ahli hukum kedua belah pihak.

jika ada ketimpangan dalam ketrampilan dan pengalaman, maka perkara akan dimenangkan oleh pihak yang lebih unggul dan ini mengingatkan pada zaman koboi”(Wild West) di Amerika Serikat pada abad ke 19, dimana rakyat sering main hakim sendiri.

System Juri dan adversarial system di Australia sudah berjalan  dua ratus tahunan lebih, rakyat sudah merasa cocok, tidak merasa ada keganjilan dan kekurangan apapun, akan tetapi sistem yang baik disuatu negara belum tentu cocok , jika diterapkan di negara lain.

Pentingnya anggaran di Kejaksaan Victoria
Agar tercapai Kejaksaan yang optimal, tidak boleh kekurangn anggaran dan kejaksaan Victoria Australia menerima anggaran yang lebih tinggi karena pemerintah membutuhkan kejaksaan yang professional, berkeadilan, efisien dan independen, it should be prepared to pay for it, artinya pemerintah harus berani membiayai kejaksaan dengan tidak kepalang tanggung.

Peran Jaksa Pada Negara Bagian Victoria/Australia

Kejaksaan Negara Bagian Victoria dan Penuntutan yang efektif

Sistem Peradilan Pidana Australia.

Sistem hukum Australia berlandaskan sistem hukum Inggris yaitu sistem tanding (adversarial system) dimana hakim hanya mendengar dan memutuskan masalah-masalah yang dikemukakan oleh para pihak (jaksa dan pihak terdakwa).

Pemerintahan Australia berbentuk federal, oleh karena itu terdapat dualisme sistem hukum, yaitu sistem hukum  nasional (commonwealth laws) dan sistem hukum negara bagian (state laws), demikian juga terdapat dualisme pengadilan, yaitu pengadilan nasional (commonwealt couts) dan pengadilan negara bagian (state courts).

Di bidang pidana, pengadilan negara bagian mempunyai wewenang mengadili mayoritas tindak pidana termasuk kejahatan terhdap harta benda dan kejahatan terhadap orang, sedangkan pengadilan nasional hanya berwenang mengadili kejahatan-kejahatan tertentu saja misalnya perpajakan, penggelapan, dana jaminan social, impor illegal narkotika, dan tindak pidana yang dilakukan di wilayah nasional (Commonwealth territory).

Setiap negara bagian Australia mempunyai sistem hukum sendiri dan ada yang memiliki KUHP sendiri, akan tetapi beberapa negara bagian tidak mempunyai KUHP seperti Inggris, menerapkan common law yaitu hukum rakyat yang tidak tertulis namun sudah menjadi yurisprudensi, dan juga menetapkan hukum tertulis berupa perundang-undangan pidana negara bagian

Kejaksaan Victoria (Australia)
Peran Jaksa di Australia
Kejaksaan Negara Bagian Victoria dan Penuntutan yang efektif

Sistem Peradilan Pidana Australia.

Sistem hukum Australia berlandaskan sistem hukum Inggris yaitu sistem tanding (adversarial system) dimana hakim hanya mendengar dan memutuskan masalah-masalah yang dikemukakan oleh para pihak (jaksa dan pihak terdakwa).

Pemerintahan Australia berbentuk federal, oleh karena itu terdapat dualisme sistem hukum, yaitu sistem hukum  nasional (commonwealth laws) dan sistem hukum negara bagian (state laws), demikian juga terdapat dualisme pengadilan, yaitu pengadilan nasional (commonwealt couts) dan pengadilan negara bagian (state courts).

Di bidang pidana, pengadilan negara bagian mempunyai wewenang mengadili mayoritas tindak pidana termasuk kejahatan terhdap harta benda dan kejahatan terhadap orang, sedangkan pengadilan nasional hanya berwenang mengadili kejahatan-kejahatan tertentu saja misalnya perpajakan, penggelapan, dana jaminan social, impor illegal narkotika, dan tindak pidana yang dilakukan di wilayah nasional (Commonwealth territory).

Setiap negara bagian Australia mempunyai sistem hukum sendiri dan ada yang memiliki KUHP sendiri, akan tetapi beberapa negara bagian tidak mempunyai KUHP seperti Inggris, menerapkan common law yaitu hukum rakyat yang tidak tertulis namun sudah menjadi yurisprudensi, dan juga menetapkan hukum tertulis berupa perundang-undangan pidana negara bagian

Kejaksaan Victoria (Australia)

Kejaksaan Negara bagian Australia yaitu Victoria yang beroperasi atas  nama Direktur Jenderal Penuntutan (Director of Prosecutionn) merupakan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan uandang-undang dasar negara bagian.

Kejaksaan Victoria melaporkn hasil kerjanya ke DPR Negara Bagian melalui Jaksa Agung Negara Bagian Victoria. Kejaksaan Victoria dilengkapi dengan 100 karyawan dan 150 ahli hukum, setiap tahun Kejaksaan Victoria menuntut perkara sebanyak 500 perkara.

Pada sistem peradilan di Amerika dan Inggris, jika terdakwa mengaku, perkaranya tidak disidangkan lagi tetapi langsung dihadirkan kepada hakim dalam sidang pemidanaan dan serta merta saat itu juga dijatuhi pidana.

Negara bersistem Eropa continental termasuk Indonesia, sekalipun terdakwa mengaku, perkaranya tetap disidangkan dari awal (pembacaan surat dakwaan hingga pembacaan requisitor dan putusan.

Jaksa pada Kejaksaan Victoria menganalisis perkara yang diterima dari polisi dan juga memberi nasihat sewaktu polis imelakukan penyidikan. Jaksa yang menentukan apakah tuduhan dari polisi atau apakah perkara tersebut harus dihentikan penuntutannya, dan jaksalah yang bertanggung jawab untuk mengajukan perkara ke sidang pendahuluan (hearling) dimana pengadilan akan memeriksa apakah pembuktian dan saksi-saksinya cukup.

Jika semua persyaratan pembuktian sudah terpenuhi maka pengadilan pendahuluan akan menetapkan bahwa perkara tersebut akan disidangkan (trial).

Dalam perkara-perkara berat di depan juri yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum adalah pengacara khusus (specialist advocates) dikenal sebagai Crown Prosecutor yang artinya Jaksa Mahkota atau Jaksa Kerajaan.

Tahap Menuju Persidangan di Pengadilan Victoria

Prosedur persidangan di Pengadilan Victoria melalui beberapa tahap sebagai berikut :
-    Laporan diajukan kepada polisi.

-    Polisi menindak lanjuti dengan investigasi. Kejaksaan tidak terlibat langsung di tahap ini, tetapi hanya member nasihat-nasihat sebelum polisi menetapkan tuduhan.

-    Setelah polisi menetapkan tuduhan, barulah kejaksaan Victoria mengambil alih perkara tersebut dan dari saat itu kejaksaan meneliti apakah pembuktian perkara tersebut cukup untuk tuduhan tersebut dan apakah tuduhannya tepat sehingga tidak perlu diganti dengan tuduhan lain.

-    Perkara selanjutnya diajukan ke sidang pendahuluan (preliminary hearing) dimana hakim akan mameriksa apakah pembuktian dapat menghasilkan putusan bersalah dari juri jika perkara tersebut disidangkan nanti.

-    Sidang pendahuluan diselenggarakan oleh Pengadilan Magistrat (Magistrate Court), Sedangkan penelitian pembuktian pada umumnya hanya dengan meneliti keterangan saksi yang tertulis, kecuali jika pembela ingin menanyai saksi-saksi untuk diklarifikasi. Dan dalam tahap ini pula berat ringannya tindak pidana, magistrate akan menentukan ke pengadilan mana perkara ini akan diajukan ke pengadilan rendahan (Country Court) atau ke pengadilan yang lebih tinggi (Supreme Court). Supreme Court adalah pengadilan negara bagian, bukan dalam arti Mahkamah Agung. Di Australia Mahkamah Agung disebut High Court atau Pengadilan Tinggi dan tahap ini disebut committal proceedings, karena untuk menentukan pengadilan mana yang akan disidangkan perkara tersebut.

-    Setelah committal proceedings selesai, “ pertemuan pra peradilan” atau”pertemuan pra-persidangan: (pre trial conference) diselenggarakan oleh hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara tersebut dan lebih tepat disebut “pertemuan pra persidangan”, mengingat praperadilan” disini bukan pra-peradilan yang dikenal dalam acara pidana di Indonesia . Dan dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa pertemuan pra-peradilan ini adalah forum dimana hakim dapat menganjurkan masing-masing wakil hukum kedua belah pihak (penuntut umum dan pembela terdakwa) mengajukan permasalahan yang signifikan, sehingga persidangan perkara yang bersangkutan akan lancar dan dapat dipersidangkat waktunya.

-    Persidang utama atau sesungguhnya berlangsung dihadapan Juri (hakim awam atau non professional) dan dipimpin oleh seorang hakim (professional) berdasarkan tuduhan yang didakwakan oleh jaksa. Selanjutnya saksi dari kedua belah pihak diperiksa (setelah disumpah), dan saksi yang sudah diperiksa ulang (cross-examination) oleh pihak lawan.

-    Jika Juri memvonis (convict) terdakwa terbukti bersalah (quity) maka dalam persidangan khusus di waktu yang lain, hakim akan menjatuhkan pidana (sentence).

-    Terdakwa dapat mengajukan banding kepada pengadilan banding dan kemudian ke pengadilan tinggi. Dalam sistem hukum Inggris dan Amerika tidak dikenal kasasi, karena banding di pengadilan tinggi ini sering disebut sebagai banding tingkat kedua; sadangkan kasasi bukan banding tingkat kedua.



Hal-hal yang Berkaitan dengan Praktek Persidangan di Victoria Australia

Mayoritas tugas Kejaksaan Victoria adalah perkara-perkara yang disidangkan di pengadilan rendahan Country Courts), dan harus menunggu rata-rata 12 bulan untuk menunggu persidangan (trial) sejak perkara dalam sidang pendahuluan di pengadilan Magistrat ditetapkan di pengadilan mana akan disidangkan (tahap committal). Dalam hal terdakwa berada di luar tahanan dengan jaminan (on bail), dan waktu menunggu dapat memakan waktu lebih dari satu tahun.

Persidangan perkara berlangsung rata-rata 5-6 hari, hal ini disebabkan perundang-undangan maupun aturan beracara berubah serta semakin rumitnya perkara-perkara yang masuk ke pengadilan, ada kecederungan bahwa waktu akan menjadi lama lagi.

Sebanyak 70 % perkara langsung dipidana oleh hakim tanpa melalui proses persidangan, karena terdakwa mengaku bersalah (pleas of qulty). Sejumlah 60 % dari perkara-perkara yang disidangkan (Karena terdakwa tidak mengaku bersalah), mendapat “vonis” Juri”terbukti bersalah”.

Dalam sistem Australia, Inggris dan Amerika, hakim memutuskan masalah hukum, dan Juri memutuskan masalah fakta, artinya hakim mengawasi persiodangan agar berjalan secara adil (fair), sedangkan Juri memutuskan apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak (dengaa berpedoman pada penjelasan dan arahan hakim tentang unsur-unsur tindak pidana yang dituduhkan Jaksa. Peradilan dengan Juri hanya diselenggarakan di pengadilan yang lebih tinggi (higher courts), tidak di pengadilan-pengadilan rendahan (country courts).

Persidangan di pengadilan Australia menganut adver serial system, dimana hakim bertindak seperti seorang “wasit permainan tenis” dan hanya sekali-sekali saja ia bicara dalam penentuan sesuatu prosedur, kalau terlalu mencapuri persidangan perkara dapat diajukan banding oleh pihak terdakwa dan dapat menjadi alasan kuat untuk dilakukan persidangan ulang perkara tersebut.

Hakim-hakim di Australia diangkat dari pengacara kawakan yang teruji integritas dan pengalamannya. Sekalipun mereka diangkat oleh pihak eksekutif, dapat mempertahankan sikapnya yang tidak memihak dan independen, karena mereka diangkat untuk seumur hidup (for life).

Para anggota Juri adalah orang awam hukum, dipilih oleh warga masyarakat yang berhak memilih dalam pemilihan umum. Para ahli hukum dan sarjana hukum tidak boleh dipilih menjadi anggota Juri.



Sistem yang Berhasil

Bagaimana sekumpulan orang awam  (Juri) yang tanpa pendidikan hukum menentukan seseorang terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Demikian juga dari sudut orang Autralia  yang menerapkan sistem inkuisitor, sidang pengadilan yang menggunakan adversarial system  dan mengandung beberapa kelemahan. Misalnya hasil persidangan  tergantung dari ketrampilan dan pengalaman para ahli hukum kedua belah pihak.

jika ada ketimpangan dalam ketrampilan dan pengalaman, maka perkara akan dimenangkan oleh pihak yang lebih unggul dan ini mengingatkan pada zaman koboi”(Wild West) di Amerika Serikat pada abad ke 19, dimana rakyat sering main hakim sendiri.

System Juri dan adversarial system di Australia sudah berjalan  dua ratus tahunan lebih, rakyat sudah merasa cocok, tidak merasa ada keganjilan dan kekurangan apapun, akan tetapi sistem yang baik disuatu negara belum tentu cocok , jika diterapkan di negara lain.

Pentingnya anggaran di Kejaksaan Victoria

Agar tercapai Kejaksaan yang optimal, tidak boleh kekurangn anggaran dan kejaksaan Victoria Australia menerima anggaran yang lebih tinggi karena pemerintah membutuhkan kejaksaan yang professional, berkeadilan, efisien dan independen, it should be prepared to pay for it, artinya pemerintah harus berani membiayai kejaksaan dengan tidak kepalang tanggung.

Kejaksaan Negara bagian Australia yaitu Victoria yang beroperasi atas  nama Direktur Jenderal Penuntutan (Director of Prosecutionn) merupakan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan uandang-undang dasar negara bagian.

Kejaksaan Victoria melaporkn hasil kerjanya ke DPR Negara Bagian melalui Jaksa Agung Negara Bagian Victoria. Kejaksaan Victoria dilengkapi dengan 100 karyawan dan 150 ahli hukum, setiap tahun Kejaksaan Victoria menuntut perkara sebanyak 500 perkara.

Pada sistem peradilan di Amerika dan Inggris, jika terdakwa mengaku, perkaranya tidak disidangkan lagi tetapi langsung dihadirkan kepada hakim dalam sidang pemidanaan dan serta merta saat itu juga dijatuhi pidana.

Negara bersistem Eropa continental termasuk Indonesia, sekalipun terdakwa mengaku, perkaranya tetap disidangkan dari awal (pembacaan surat dakwaan hingga pembacaan requisitor dan putusan.

Jaksa pada Kejaksaan Victoria menganalisis perkara yang diterima dari polisi dan juga memberi nasihat sewaktu polis imelakukan penyidikan. Jaksa yang menentukan apakah tuduhan dari polisi atau apakah perkara tersebut harus dihentikan penuntutannya, dan jaksalah yang bertanggung jawab untuk mengajukan perkara ke sidang pendahuluan (hearling) dimana pengadilan akan memeriksa apakah pembuktian dan saksi-saksinya cukup.

Jika semua persyaratan pembuktian sudah terpenuhi maka pengadilan pendahuluan akan menetapkan bahwa perkara tersebut akan disi

Dalam perkara-perkara berat di depan juri yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum adalah pengacara khusus (specialist advocates) dikenal sebagai Crown Prosecutor yang artinya Jaksa Mahkota atau Jaksa Kerajaan.

Tahap Menuju Persidangan di Pengadilan Victoria

Prosedur persidangan di Pengadilan Victoria melalui beberapa tahap sebagai berikut :
-    Laporan diajukan kepada polisi.

-    Polisi menindak lanjuti dengan investigasi. Kejaksaan tidak terlibat langsung di tahap ini, tetapi hanya member nasihat-nasihat sebelum polisi menetapkan tuduhan.

-    Setelah polisi menetapkan tuduhan, barulah kejaksaan Victoria mengambil alih perkara tersebut dan dari saat itu kejaksaan meneliti apakah pembuktian perkara tersebut cukup untuk tuduhan tersebut dan apakah tuduhannya tepat sehingga tidak perlu diganti dengan tuduhan lain.

-    Perkara selanjutnya diajukan ke sidang pendahuluan (preliminary hearing) dimana hakim akan mameriksa apakah pembuktian dapat menghasilkan putusan bersalah dari juri jika perkara tersebut disidangkan nanti.

-    Sidang pendahuluan diselenggarakan oleh Pengadilan Magistrat (Magistrate Court), Sedangkan penelitian pembuktian pada umumnya hanya dengan meneliti keterangan saksi yang tertulis, kecuali jika pembela ingin menanyai saksi-saksi untuk diklarifikasi. Dan dalam tahap ini pula berat ringannya tindak pidana, magistrate akan menentukan ke pengadilan mana perkara ini akan diajukan ke pengadilan rendahan (Country Court) atau ke pengadilan yang lebih tinggi (Supreme Court). Supreme Court adalah pengadilan negara bagian, bukan dalam arti Mahkamah Agung. Di Australia Mahkamah Agung disebut High Court atau Pengadilan Tinggi dan tahap ini disebut committal proceedings, karena untuk menentukan pengadilan mana yang akan disidangkan perkara tersebut.

-    Setelah committal proceedings selesai, “ pertemuan pra peradilan” atau”pertemuan pra-persidangan: (pre trial conference) diselenggarakan oleh hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara tersebut dan lebih tepat disebut “pertemuan pra persidangan”, mengingat praperadilan” disini bukan pra-peradilan yang dikenal dalam acara pidana di Indonesia . Dan dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa pertemuan pra-peradilan ini adalah forum dimana hakim dapat menganjurkan masing-masing wakil hukum kedua belah pihak (penuntut umum dan pembela terdakwa) mengajukan permasalahan yang signifikan, sehingga persidangan perkara yang bersangkutan akan lancar dan dapat dipersidangkat waktunya.

-    Persidang utama atau sesungguhnya berlangsung dihadapan Juri (hakim awam atau non professional) dan dipimpin oleh seorang hakim (professional) berdasarkan tuduhan yang didakwakan oleh jaksa. Selanjutnya saksi dari kedua belah pihak diperiksa (setelah disumpah), dan saksi yang sudah diperiksa ulang (cross-examination) oleh pihak lawan.

-    Jika Juri memvonis (convict) terdakwa terbukti bersalah (quity) maka dalam persidangan khusus di waktu yang lain, hakim akan menjatuhkan pidana (sentence).

-    Terdakwa dapat mengajukan banding kepada pengadilan banding dan kemudian ke pengadilan tinggi. Dalam sistem hukum Inggris dan Amerika tidak dikenal kasasi, karena banding di pengadilan tinggi ini sering disebut sebagai banding tingkat kedua; sadangkan kasasi bukan banding tingkat kedua.



Hal-hal yang Berkaitan dengan Praktek Persidangan di Victoria Australia

Mayoritas tugas Kejaksaan Victoria adalah perkara-perkara yang disidangkan di pengadilan rendahan Country Courts), dan harus menunggu rata-rata 12 bulan untuk menunggu persidangan (trial) sejak perkara dalam sidang pendahuluan di pengadilan Magistrat ditetapkan di pengadilan mana akan disidangkan (tahap committal). Dalam hal terdakwa berada di luar tahanan dengan jaminan (on bail), dan waktu menunggu dapat memakan waktu lebih dari satu tahun.

Persidangan perkara berlangsung rata-rata 5-6 hari, hal ini disebabkan perundang-undangan maupun aturan beracara berubah serta semakin rumitnya perkara-perkara yang masuk ke pengadilan, ada kecederungan bahwa waktu akan menjadi lama lagi.

Sebanyak 70 % perkara langsung dipidana oleh hakim tanpa melalui proses persidangan, karena terdakwa mengaku bersalah (pleas of qulty). Sejumlah 60 % dari perkara-perkara yang disidangkan (Karena terdakwa tidak mengaku bersalah), mendapat “vonis” Juri”terbukti bersalah”.

Dalam sistem Australia, Inggris dan Amerika, hakim memutuskan masalah hukum, dan Juri memutuskan masalah fakta, artinya hakim mengawasi persiodangan agar berjalan secara adil (fair), sedangkan Juri memutuskan apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak (dengaa berpedoman pada penjelasan dan arahan hakim tentang unsur-unsur tindak pidana yang dituduhkan Jaksa. Peradilan dengan Juri hanya diselenggarakan di pengadilan yang lebih tinggi (higher courts), tidak di pengadilan-pengadilan rendahan (country courts).

Persidangan di pengadilan Australia menganut adver serial system, dimana hakim bertindak seperti seorang “wasit permainan tenis” dan hanya sekali-sekali saja ia bicara dalam penentuan sesuatu prosedur, kalau terlalu mencapuri persidangan perkara dapat diajukan banding oleh pihak terdakwa dan dapat menjadi alasan kuat untuk dilakukan persidangan ulang perkara tersebut.

Hakim-hakim di Australia diangkat dari pengacara kawakan yang teruji integritas dan pengalamannya. Sekalipun mereka diangkat oleh pihak eksekutif, dapat mempertahankan sikapnya yang tidak memihak dan independen, karena mereka diangkat untuk seumur hidup (for life).

Para anggota Juri adalah orang awam hukum, dipilih oleh warga masyarakat yang berhak memilih dalam pemilihan umum. Para ahli hukum dan sarjana hukum tidak boleh dipilih menjadi anggota Juri.



Kejaksaan Negara Bagian Victoria dan Penuntutan yang efektif

Sistem Peradilan Pidana Australia.

Sistem hukum Australia berlandaskan sistem hukum Inggris yaitu sistem tanding (adversarial system) dimana hakim hanya mendengar dan memutuskan masalah-masalah yang dikemukakan oleh para pihak (jaksa dan pihak terdakwa).

Pemerintahan Australia berbentuk federal, oleh karena itu terdapat dualisme sistem hukum, yaitu sistem hukum  nasional (commonwealth laws) dan sistem hukum negara bagian (state laws), demikian juga terdapat dualisme pengadilan, yaitu pengadilan nasional (commonwealt couts) dan pengadilan negara bagian (state courts).

Di bidang pidana, pengadilan negara bagian mempunyai wewenang mengadili mayoritas tindak pidana termasuk kejahatan terhdap harta benda dan kejahatan terhadap orang, sedangkan pengadilan nasional hanya berwenang mengadili kejahatan-kejahatan tertentu saja misalnya perpajakan, penggelapan, dana jaminan social, impor illegal narkotika, dan tindak pidana yang dilakukan di wilayah nasional (Commonwealth territory).

Setiap negara bagian Australia mempunyai sistem hukum sendiri dan ada yang memiliki KUHP sendiri, akan tetapi beberapa negara bagian tidak mempunyai KUHP seperti Inggris, menerapkan common law yaitu hukum rakyat yang tidak tertulis namun sudah menjadi yurisprudensi, dan juga menetapkan hukum tertulis berupa perundang-undangan pidana negara bagian

Kejaksaan Victoria (Australia)

Kejaksaan Negara bagian Australia yaitu Victoria yang beroperasi atas  nama Direktur Jenderal Penuntutan (Director of Prosecutionn) merupakan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan uandang-undang dasar negara bagian.

Kejaksaan Victoria melaporkn hasil kerjanya ke DPR Negara Bagian melalui Jaksa Agung Negara Bagian Victoria. Kejaksaan Victoria dilengkapi dengan 100 karyawan dan 150 ahli hukum, setiap tahun Kejaksaan Victoria menuntut perkara sebanyak 500 perkara.

Pada sistem peradilan di Amerika dan Inggris, jika terdakwa mengaku, perkaranya tidak disidangkan lagi tetapi langsung dihadirkan kepada hakim dalam sidang pemidanaan dan serta merta saat itu juga dijatuhi pidana.

Negara bersistem Eropa continental termasuk Indonesia, sekalipun terdakwa mengaku, perkaranya tetap disidangkan dari awal (pembacaan surat dakwaan hingga pembacaan requisitor dan putusan.

Jaksa pada Kejaksaan Victoria menganalisis perkara yang diterima dari polisi dan juga memberi nasihat sewaktu polis imelakukan penyidikan. Jaksa yang menentukan apakah tuduhan dari polisi atau apakah perkara tersebut harus dihentikan penuntutannya, dan jaksalah yang bertanggung jawab untuk mengajukan perkara ke sidang pendahuluan (hearling) dimana pengadilan akan memeriksa apakah pembuktian dan saksi-saksinya cukup.

Jika semua persyaratan pembuktian sudah terpenuhi maka pengadilan pendahuluan akan menetapkan bahwa perkara tersebut akan disidangkan (trial).

Dalam perkara-perkara berat di depan juri yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum adalah pengacara khusus (specialist advocates) dikenal sebagai Crown Prosecutor yang artinya Jaksa Mahkota atau Jaksa Kerajaan.

Tahap Menuju Persidangan di Pengadilan Victoria

Prosedur persidangan di Pengadilan Victoria melalui beberapa tahap sebagai berikut :
-    Laporan diajukan kepada polisi.

-    Polisi menindak lanjuti dengan investigasi. Kejaksaan tidak terlibat langsung di tahap ini, tetapi hanya member nasihat-nasihat sebelum polisi menetapkan tuduhan.

-    Setelah polisi menetapkan tuduhan, barulah kejaksaan Victoria mengambil alih perkara tersebut dan dari saat itu kejaksaan meneliti apakah pembuktian perkara tersebut cukup untuk tuduhan tersebut dan apakah tuduhannya tepat sehingga tidak perlu diganti dengan tuduhan lain.

-    Perkara selanjutnya diajukan ke sidang pendahuluan (preliminary hearing) dimana hakim akan mameriksa apakah pembuktian dapat menghasilkan putusan bersalah dari juri jika perkara tersebut disidangkan nanti.

-    Sidang pendahuluan diselenggarakan oleh Pengadilan Magistrat (Magistrate Court), Sedangkan penelitian pembuktian pada umumnya hanya dengan meneliti keterangan saksi yang tertulis, kecuali jika pembela ingin menanyai saksi-saksi untuk diklarifikasi. Dan dalam tahap ini pula berat ringannya tindak pidana, magistrate akan menentukan ke pengadilan mana perkara ini akan diajukan ke pengadilan rendahan (Country Court) atau ke pengadilan yang lebih tinggi (Supreme Court). Supreme Court adalah pengadilan negara bagian, bukan dalam arti Mahkamah Agung. Di Australia Mahkamah Agung disebut High Court atau Pengadilan Tinggi dan tahap ini disebut committal proceedings, karena untuk menentukan pengadilan mana yang akan disidangkan perkara tersebut.

-    Setelah committal proceedings selesai, “ pertemuan pra peradilan” atau”pertemuan pra-persidangan: (pre trial conference) diselenggarakan oleh hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara tersebut dan lebih tepat disebut “pertemuan pra persidangan”, mengingat praperadilan” disini bukan pra-peradilan yang dikenal dalam acara pidana di Indonesia . Dan dari uraian ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa pertemuan pra-peradilan ini adalah forum dimana hakim dapat menganjurkan masing-masing wakil hukum kedua belah pihak (penuntut umum dan pembela terdakwa) mengajukan permasalahan yang signifikan, sehingga persidangan perkara yang bersangkutan akan lancar dan dapat dipersidangkat waktunya.

-    Persidang utama atau sesungguhnya berlangsung dihadapan Juri (hakim awam atau non professional) dan dipimpin oleh seorang hakim (professional) berdasarkan tuduhan yang didakwakan oleh jaksa. Selanjutnya saksi dari kedua belah pihak diperiksa (setelah disumpah), dan saksi yang sudah diperiksa ulang (cross-examination) oleh pihak lawan.

-    Jika Juri memvonis (convict) terdakwa terbukti bersalah (quity) maka dalam persidangan khusus di waktu yang lain, hakim akan menjatuhkan pidana (sentence).

-    Terdakwa dapat mengajukan banding kepada pengadilan banding dan kemudian ke pengadilan tinggi. Dalam sistem hukum Inggris dan Amerika tidak dikenal kasasi, karena banding di pengadilan tinggi ini sering disebut sebagai banding tingkat kedua; sadangkan kasasi bukan banding tingkat kedua.



Hal-hal yang Berkaitan dengan Praktek Persidangan di Victoria Australia

Mayoritas tugas Kejaksaan Victoria adalah perkara-perkara yang disidangkan di pengadilan rendahan Country Courts), dan harus menunggu rata-rata 12 bulan untuk menunggu persidangan (trial) sejak perkara dalam sidang pendahuluan di pengadilan Magistrat ditetapkan di pengadilan mana akan disidangkan (tahap committal). Dalam hal terdakwa berada di luar tahanan dengan jaminan (on bail), dan waktu menunggu dapat memakan waktu lebih dari satu tahun.

Persidangan perkara berlangsung rata-rata 5-6 hari, hal ini disebabkan perundang-undangan maupun aturan beracara berubah serta semakin rumitnya perkara-perkara yang masuk ke pengadilan, ada kecederungan bahwa waktu akan menjadi lama lagi.

Sebanyak 70 % perkara langsung dipidana oleh hakim tanpa melalui proses persidangan, karena terdakwa mengaku bersalah (pleas of qulty). Sejumlah 60 % dari perkara-perkara yang disidangkan (Karena terdakwa tidak mengaku bersalah), mendapat “vonis” Juri”terbukti bersalah”.

Dalam sistem Australia, Inggris dan Amerika, hakim memutuskan masalah hukum, dan Juri memutuskan masalah fakta, artinya hakim mengawasi persiodangan agar berjalan secara adil (fair), sedangkan Juri memutuskan apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak (dengaa berpedoman pada penjelasan dan arahan hakim tentang unsur-unsur tindak pidana yang dituduhkan Jaksa. Peradilan dengan Juri hanya diselenggarakan di pengadilan yang lebih tinggi (higher courts), tidak di pengadilan-pengadilan rendahan (country courts).

Persidangan di pengadilan Australia menganut adver serial system, dimana hakim bertindak seperti seorang “wasit permainan tenis” dan hanya sekali-sekali saja ia bicara dalam penentuan sesuatu prosedur, kalau terlalu mencapuri persidangan perkara dapat diajukan banding oleh pihak terdakwa dan dapat menjadi alasan kuat untuk dilakukan persidangan ulang perkara tersebut.

Hakim-hakim di Australia diangkat dari pengacara kawakan yang teruji integritas dan pengalamannya. Sekalipun mereka diangkat oleh pihak eksekutif, dapat mempertahankan sikapnya yang tidak memihak dan independen, karena mereka diangkat untuk seumur hidup (for life).

Para anggota Juri adalah orang awam hukum, dipilih oleh warga masyarakat yang berhak memilih dalam pemilihan umum. Para ahli hukum dan sarjana hukum tidak boleh dipilih menjadi anggota Juri.



Sistem yang Berhasil

Bagaimana sekumpulan orang awam  (Juri) yang tanpa pendidikan hukum menentukan seseorang terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Demikian juga dari sudut orang Autralia  yang menerapkan sistem inkuisitor, sidang pengadilan yang menggunakan adversarial system  dan mengandung beberapa kelemahan. Misalnya hasil persidangan  tergantung dari ketrampilan dan pengalaman para ahli hukum kedua belah pihak.

jika ada ketimpangan dalam ketrampilan dan pengalaman, maka perkara akan dimenangkan oleh pihak yang lebih unggul dan ini mengingatkan pada zaman koboi”(Wild West) di Amerika Serikat pada abad ke 19, dimana rakyat sering main hakim sendiri.

System Juri dan adversarial system di Australia sudah berjalan  dua ratus tahunan lebih, rakyat sudah merasa cocok, tidak merasa ada keganjilan dan kekurangan apapun, akan tetapi sistem yang baik disuatu negara belum tentu cocok , jika diterapkan di negara lain.

Pentingnya Anggaran di Kejaksaan Victoria

Agar tercapai Kejaksaan yang optimal, tidak boleh kekurangn anggaran dan kejaksaan Victoria Australia menerima anggaran yang lebih tinggi karena pemerintah membutuhkan kejaksaan yang professional, berkeadilan, efisien dan independen, it should be prepared to pay for it, artinya pemerintah harus berani membiayai kejaksaan dengan tidak kepalang tanggung.

Bagaimana sekumpulan orang awam  (Juri) yang tanpa pendidikan hukum menentukan seseorang terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Demikian juga dari sudut orang Autralia  yang menerapkan sistem inkuisitor, sidang pengadilan yang menggunakan adversarial system  dan mengandung beberapa kelemahan. Misalnya hasil persidangan  tergantung dari ketrampilan dan pengalaman para ahli hukum kedua belah pihak.

jika ada ketimpangan dalam ketrampilan dan pengalaman, maka perkara akan dimenangkan oleh pihak yang lebih unggul dan ini mengingatkan pada zaman koboi”(Wild West) di Amerika Serikat pada abad ke 19, dimana rakyat sering main hakim sendiri.

System Juri dan adversarial system di Australia sudah berjalan  dua ratus tahunan lebih, rakyat sudah merasa cocok, tidak merasa ada keganjilan dan kekurangan apapun, akan tetapi sistem yang baik disuatu negara belum tentu cocok , jika diterapkan di negara lain.

Pentingnya anggaran di Kejaksaan Victoria

Agar tercapai Kejaksaan yang optimal, tidak boleh kekurangn anggaran dan kejaksaan Victoria Australia menerima anggaran yang lebih tinggi karena pemerintah membutuhkan kejaksaan yang professional, berkeadilan, efisien dan independen, it should be prepared to pay for it, artinya pemerintah harus berani membiayai kejaksaan dengan tidak kepalang tanggung.
dangkan (trial).